Sabtu, 10 Januari 2009

MEMPERHATIKAN NASIB PETANI BANTEN

Secara perlahan tapi pasti Propinsi Banten telah muncul sebagai 'provinsi industri'. Hal itu antara lain ditandai dengan kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencapai 52 persen, sedangkan kontribusi sektor pertanian hanya 8,9 persen (PDRB Banten tahun 2005 mencapai Rp. 80 triliun) . Pertumbuhan sektor industri di Banten tidak lepas dari dikembangkannya 17 kawasan industri yang seluruhnya berlokasi di Banten Utara (Cilegon, Serang dan Tangerang). Ternyata sektor industri di Banten hanya menyerap 22 persen tenaga kerja, sedangkan pertanian mampu menyerap 27 persen dari angkatan kerja.

Data-data tersebut menunjukkan, bahwa sektor industri hanya berkembang di Banten Utara dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja tidak lebih baik dari sektor pertanian. Kalaupun ditelaah lebih lanjut, pertumbuhan sektor industri di Cilegon, Serang dan Tangerang hanya terkonsentrasi di beberapa kecamatan tertentu, seperti Cilegon, Cikande, Cikupa, Cisoka, Balaraja, dan beberapa kecamatan di Kota Tangerang. Sebagian besar kecamatan yang ada di Banten Utara sebenarnya masih berbasis pertanian. Di sisi lainnya ternyata hampir seluruh kecamatan di Banten Selatan (Lebak dan Pandeglang) juga masih berbasis pertanian.

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Lebak dan Pandeglang masih berkisar antara 30-35 persen, sedangkan angkatan kerja yang diserap sekitar 50-55 persen. Dengan demikian, pengembangan sektor pertanian perlu menjadi prioritas, kondisi petani sebagai 'aktor utama' perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Bukan sekedar perhatian yang lebih penting ialah adanya solusi yang proaktif.

Seperti 'Anak Tiri'

Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini sektor pertanian masih seperti 'anak tiri' dalam pembangunan nasional. Keberadaan petani sebagai pelaku utama masih dipandang sebelah mata, kehidupannya makin terpuruk ditengah-tengah beragam kebijakan pemerintah yang tidak memihak (kebijakan harga pupuk, harga gabah, dan sebagainya). Saat ini di Propinsi Banten jumlah penduduk miskin mencapai 1, 3 juta orang, atau sekitar 16 persen dari seluruh penduduk. Ternyata sekitar 60-70 persen penduduk miskin tersebut merupakan penduduk yang hidup di sektor pertanian.

Kalau ditelaah lebih jauh lagi, kondisi paling terpuruk dialami oleh petani padi, secara perlahan, kontribusi usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani telah menurun drastis, yaitu dari 36,2 persen tahun 1980-an menjadi sekitar 13,6 persen tahun ini. Selain itu, ternyata lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian, seperti dari dagang, buruh kasar dan ngojek. Maka tak heran jika sebagian anggota keluarga petani dari Kecamatan Cibaliung, Munjul, Panimbang, Malingping, Leuwidamar, Padarincang, Sepatan, Kronjo dan sebagainya banyak yang mencari nafkah sebagai pekerja sektor informal di kota-kota Cilegon, Tangerang, Jakarta, bahkan jadi TKI di luar negeri.
Karena usaha tani tidak menarik lagi, di beberapa desa di Kecamatan Curug Kabupaten Serang, sebagian petani ngobyek atau 'beralih profesi' menjadi pencetak batu bata. Pada bulan September 2006 yang lalu, sebagian keluarga mengkonsumsi nasi aking (nasi bekas yang dikeringkan) sebagai pengganti nasi, karena daya beli yang melemah, kemarau yang berkepanjangan menyebabkan usaha mereka terhenti. Sementara ratusan keluarga petani di Kecamatan Patia dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang mengalami rawan pangan, akibat gagal panen pada bulan Mei-Juni 2006 yang lalu.

Itulah gambaran kondisi sebagian petani Banten yang makin terpuruk. Dalam hal ini perhatian pemerintah, baik pusat atau daerah (Pemda) terhadap kondisi petani dan pertaniannya memang cukup besar. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) misalnya, menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Untuk pertanian ada empat kebijakan: kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, pembangunan infrastruktur pedesaan, ketahanan pangan, dan perdagangan produk pertanian. Begitu pula dalam kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi Banten yang baru lalu, beberapa pernyataan yang muncul antara lain: peningkatan pembangunan di sektor pertanian agar bisa mendukung industri, pengembangan industri pengolahan produk pertanian, pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian, dan sebagainya. Namun hendaknya perhatian dan pernyataan tersebut tidak sekedar menjadi retorika belaka, petani butuh bukti dan bukan janji.

Petani sudah lelah menjadi 'anak tiri', padahal selama ini petani tidak seperti kelompok masyarakat lainnya, yang sangat getol menyuarakan tuntutannya supaya pemerintah memperhatikan berbagai kepentingannya. Petani begitu sabar, jarang mendatangi gedung DPR atau DPRD, meskipun berbagai persoalan selalu menghinggapinya. Padahal anggota dewan yang terhormat bisa duduk di kursi dewan, sebagian besar adalah karena titipan suara petani. Tak dapat dipungkiri sebagian besar pemilih, baik dalam pemilihan anggota legislatif, Pilpres atau Pilkada berasal dari petani dan anggota keluarganya.

Subsidi dan Insentif

Keberadaan petani dan pertaniannya sangat penting bagi kelangsungan bangsa dan negara ini. Sulit dibayangkan, bagaimana jadinya jika petani secara serempak mogok turun ke sawah dan ladang. Produksi padi nasional akan terganggu, ketahanan pangan akan terancam dan negara pun dihadapkan pada persoalan serius. Bagaimanapun tulang punggung atau pahlawan ketahanan pangan sejati ialah para petani, yang lain hanya ikut nebeng dan beken. Sebagai gambaran, saat ini penduduk Provinsi Banten mencapai 9,1 juta jiwa, dengan konsumsi beras rata-rata per kapita per tahun mencapai 140 kg, sehingga jumlah beras yang harus diproduksi petani Banten sekitar 1,274 juta ton.
Jika kemampuan petani tidak mencapai angka tersebut, maka kebutuhan beras tidak terpenuhi, beras menjadi langka dan harganya akan meningkat. Padahal menurut staf ahli Menko Perekonomian, Mohamad Ikhsan, setiap 10 persen kenaikan harga beras, akan menaikkan kemiskinan 1 persen. Dengan demikian jika harga beras di Banten naik 10 persen, maka persentase kemiskinan akan meningkat dari 16 menjadi 17 persen. Kalau harga beras naik 20 persen, maka persentase kemiskinan akan meningkat dari 16 menjadi 18 persen, dan seterusnya. Pada pertengahan September 2006 yang lalu, ketika harga beras di Desa Cilaku Kecamatan Curug Kabupaten Serang mencapai Rp. 3.700 – 4.000 per liter (setara dengan Rp. 4.625 – 5.000 per kg), sudah banyak penduduk yang tidak sanggup membelinya, sehingga beralih ke nasi aking dengan harga Rp. 500 per liter (Rp. 625 per kg).

Di sisi lainnya, ekonom Didik J. Rachbini mengemukakan, bahwa setiap peningkatan harga beras sebesar Rp. 1.000 per kg akan meningkatkan inflow dana ke pedesaan sekitar Rp. 33 triliun (tersebar untuk sekitar 69.000 desa di Indonesia). Untuk Propinsi Banten, setiap kenaikan harga beras Rp. 1.000 per kg, akan meningkatkan arus masuk dana ke pedesaan sekitar Rp. 700 miliar, tersebar untuk sekitar 1.500 desa.

Dengan demikian persoalan tersebut menjadi dilematis bagi pemerintah, seperti buah simalakama, jika harga beras dinaikkan maka jumlah penduduk miskin akan bertambah, sebaliknya jika harga beras ditekan maka kondisi kehidupan petani akan makin terpuruk. Saat ini kondisi nilai tukar petani makin merosot, hal itu terjadi karena harga beras mengalami stagnasi dan jauh di bawah perkembangan harga barang yang dikonsumsi petani.

Sementara beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh harga beras, sehingga untuk itu harus dilakukan stabilisasi harga beras. Caranya antara lain dengan membanjiri pasar domestik dengan beras impor, supaya harga domestik dapat ditekan. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi petani di Banten, jika di pelabuhan-pelabuhan di Kota Cilegon berdatangan kapal-kapal asing yang memuat beras impor. Kenyataannya tahun ini pemerintah pusat masih mengimpor 210 ribu ton beras. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Achmad Suryana, dari seluruh produksi beras nasional yang mencapai 32 juta ton, angka impor tersebut 'hanya' di bawah satu persen dan tidak berarti banyak.

Persoalannya bukan hanya pada sedikit-banyaknya jumlah impor, namun munculnya berita impor beras tersebut secara psikologis bisa menurunkan motivasi petani, karena setiap kenaikan angka impor berarti terjadinya penurunan harga beras lokal. Dengan menurunnya harga beras maka 'mimpi' petani tentang kehidupan yang layak akan semakin jauh.

Kebijakan pemerintah mengenai perberasan nasional, baik mengenai dukungan sistem produksi, diversifikasi, dan perlakuan pascapanen memang sudah cukup memadai, sebagai contoh Inpres Nomor 13/2005 mengatur hal tersebut. Namun menyangkut 'politik harga beras' pemerintah terkesan tidak mampu menjamin harga jual beras petani. Hal ini merupakan persoalan sistemik, sejarah mencatat, pada tahun 1950-an, kabinet seringkali jatuh karena ketidakberdayaannya dalam mengatasi kenaikan harga beras.

Lalu bagaimana dengan kondisi petani Banten jika faktanya seperti ini. Untuk meringankan beban petani ada baiknya Pemda Provinsi Banten tetap memperhatikan insentif dan subsidi. Insentif misalnya dalam bentuk kenaikan harga dasar gabah, penyediaan sarana produksi, pemberian kredit dengan bunga murah, pengembangan infrastruktur pedesaan, reforma agraria, mendorong terbentuknya asosiasi petani padi dan database padi. Sedangkan subsidi, terutama ditujukan untuk konsumen beras yang miskin, sehingga kebutuhan beras penduduk miskin tetap terpenuhi(Atep Afia).

Sumber Gambar :
http://www.kompas.com/data/photo/2008/04/02/2716514p.jpg
http://distanak.banten.go.id/gambar/Petani%20Soenda%201900an.jpg

Jumat, 09 Januari 2009

MENGEMBANGKAN PARIWISATA DI BANTEN

Bayangkan, dalam setiap tahunnya ada 1,3 milyar orang yang berlalulalang, berwisata ke manca negara. Berapa orang yang singgah di Indonesia? Data dari Organisasi Pariwisata Dunia mengungkapkan, hanya 4 juta orang, atau hanya sekitar 0,3 persen dari seluruh wisatawan manca negara (wisman) yang datang ke Indonesia. Sementara Malaysia dikunjungi 14,7 juta orang (1,1 persen) dan Thailand 15 juta orang (1,2 persen). Lantas, berapa orang wisman tersebut yang berkunjung ke Provinsi Banten ?

Wisman yang berkunjung ke Banten tahun 2006 ini, ternyata 150 ribu orang, dan itupun baru target dari Banten Community Tourism Board (BCTB). Lantas kenapa BCTB tidak mentargetkan kunjungan wisman 1 atau 2 juta orang, apakah Banten belum layak untuk menjadi daerah tujuan wisman yang utama. Ternyata Banten memiliki potensi wisata yang beragam dan berkelas dunia, tetapi pengelolannya masih belum profesional. Jangankan dapat bersaing dengan Malaysia, Thailand atau Singapura, dengan Bali atau Jogja pun masih jauh ketinggalan.

Potensi Terpendam

Banten memiliki beragam obyek wisata, mulai dari wisata bahari (Pantai Carita, Tanjung Lesung, Pulau Umang, Anyer), ekowisata (Ujung Kulon, Gunung dan Pulau Krakatau), wisata budaya (Baduy), wisata religi (Mesjin Agung) dan wisata belanja (Cilegon, Serpong).

Sumberdaya alam Banten memiliki daya tarik yang kuat, hal itu menyebabkan bangsa-bangsa Arab, India, Cina, Jepang, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda beberapa abad yang lalu mampir di Banten. Dengan demikian eksistensi Banten sebenarnya sudah sejak lama mendunia. Antara tahun 1525 – 1808, mulai dari masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunungjati dari Cirebon) sampai masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai kerajaan yang banyak dikunjungi orang asing atau 'wisman'. Pada saat itu Banten menjadi wilayah yang terbuka untuk bisnis internasional, sehingga banyak kantor dagang asing dibuka. Bahkan perkampungan Arab, India, Cina dan Jepang pun sudah ada. Lantas kenapa kemampuan 'meng-global' Banten beberapa abad yang lalu jauh lebih unggul dibandingkan sekarang ?

Ditinjau dari aspek sosial budaya, sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Banten dikenal sangat terbuka. Sebagai dampak dari keterbukaannya Banten mencapai masa kejayaan, antara lain karena terjalin kerjasama yang harmonis antara pribumi dengan pendatang. Di sisi lainnya, Banten mengalami keterpurukan juga akibat keterbukaannya, terutama terhadap orang Belanda. Tahun 1808 Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Daendels meruntuhkan Keraton Surosowan di sekitar Banten Lama, mengakuisisi kerajaan dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Serang. Sejak saat itulah Banten mengalami keterpurukan di segala bidang, sampai akhirnya Banten berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai sebuah propinsi yang masih 'kanak-kanak' (6 tahun), Banten mencoba menggali nilai-nilai historis untuk dijadikan spirit kebangkitan, sehingga bisa sejajar dengan propinsi-propinsi yang paling maju.

Selain sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), potensi historis Banten ternyata masih terpendam. Padahal untuk pengembangan pariwisata, ketiganya perlu disinergikan melalui pengelolaan yang profesional.

Perlu Investasi

Partisipasi aktif pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dibidang pariwisata perlu lebih ditingkatkan lagi. Ketika sektor pertanian dan industri pertumbuhannya sudah stagnan, maka sektor pariwisata perlu mendapat perhatian serius. Kerjasama yang harmonis antara Pemda dengan pengelola industri pariwisata perlu lebih dikembangkan lagi, jangan sampai jalan sendiri-sendiri. Pemda jangan hanya sekedar mengejar pendapatan asli daerah (PAD), begitu pula pengelola industri pariwisata seperti pengelola hotel, restoran dan biro perjalanan wisata jangan hanya mengejar keuntungan sesaat.

Pariwisata seperti tanaman buah yang berumur panjang, untuk menghasilkan buah yang lebat dalam jangka waktu selama mungkin, maka perlu pemupukan, penyiraman, serta pengendalian hama dan penyakit. Begitu pula pariwisata, supaya 'berbuah lebat' selama mungkin, maka perlu investasi seperti bidang infrastruktur, pengembangan SDM dan promosi yang berkelanjutan.

Infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan, pelabuhan dan bandara perlu dipersiapkan secara serius. Kondisi jalan yang rusak seperti antara Cilegon dan Pantai Anyer, antara Pandeglang-Labuan-Panimbang-Tanjung Lesung dan Sumur akan menyurutkan minat calon wisatawan untuk mendatangi obyek wisata tersebut. Dengan demikian, target 150 ribu wisman, 1 juta wisnu (wisatawan nusantara) dan 2,5 juta wislok (wisatawan lokal) yang akan berkunjung ke berbagai obyek wisata di Banten sulit tercapai.

Pengembangan SDM pariwisata juga perlu digarap dengan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Propinsi Banten masih tinggi, maka pemberdayaan SDM lokal perlu mendapat perhatian serius. Kenyataannya hampir semua obyek wisata terkemuka di Banten, untuk posisi strategis lebih banyak mempekerjakan pendatang. Jika dibiarkan berlarut-larut maka hal ini dapat memicu kecemburuan sosial, sehingga lingkungan sosial pariwisata menjadi tidak kondusif.

Untuk pengelola industri pariwisata ada baiknya kalau berinvestasi dalam pengembangan SDM lokal, seperti memberikan beasiswa bagi masyarakat yang berprestasi untuk mengambil pendidikan tinggi pariwisata, memberikan pelatihan-pelatihan dasar mengenai kepariwisataan. Dalam hal ini Banten ada baiknya meniru Bali dan Jogja, di mana industri pariwisata setempat banyak mengikutsertakan SDM lokal, sehingga nilai-nilai budaya lokal makin mewarnai aktivitas kepariwisataan. Memang saat ini merupakan era globalisasi, namun di balik arus globalisasi ada arus tribalisasi yang menguat, yaitu adanya kecenderungan minat terhadap hal-hal yang bersifat lokal makin menguat.

Perlu Promosi

Investasi dibidang promosi juga menjadi sangat penting, sebagus apapun obyek wisata dan seprofesional apapun pengelolaannya, tanpa promosi yang jitu maka industri pariwisata tidak akan berkembang. Dalam hal ini bisa belajar dari Malaysia, yang begitu gencar mempromosikan 'kecanggihan' pariwisatanya, baik melalui kedutaan besar, televisi, surat kabar dan internet. Begitu pula Singapura dan Australia, sangat 'getol' mempromosikan pariwisatanya di Indonesia. Maka tak heran jika wisman asal Indonesia yang melancong ke Malaysia hampir mencapai 800 ribu orang per tahun (data dari 'The World Travel and Tourism Council'), beberapa ribu di antaranya adalah orang Banten.

Untuk pengembangan pariwisata tahun 2006, Pemerintah Provinsi Banten telah mengalokasikan anggaran Rp. 1,2 milyar untuk promosi. Anggaran tersebut relatif kecil jika memperhatikan target 150 ribu kunjungan Wisman, 1 juta Wisnu dan 2,5 juta Wislok, dengan target pemasukan 45 juta dollar`AS dari Wisman (dengan asumsi kunjungan rata-rata 2 hari) dan Rp 875 milyar dari Wisman dan Wislok (data dari BCTB). Untuk meningkatkan kegiatan promosi pariwisata, Pemda perlu menggandeng pengelola industri pariwisata, maka perlu ada interaksi yang positif antara Pemda Provinsi Banten, Pemkab (Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang), Pemkot (Cilegon, Tangerang), dengan Asita (Asosiasi Pariwisata), (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), dan pelaku pengelola industri pariwisata lainnya.

Negara-negara yang menjadi target promosi perlu diidentifikasi secara cermat. Beberapa negara seperti Singapura, Jepang dan Taiwan merupakan negara pengirim wisman terbesar ke Indonesia. Kalau anggaran memadai, cukup efektif jika dibuat iklan pariwisata yang ditayangkan di stasiun televisi yang ada di negara-negara tersebut. Mengacu pada nilai histori, tak ada salahnya jika mencoba mempromosikan pariwisata Banten di negara-negara Arab, Cina, India, Portugis, Spanyol dan Inggris, karena beberapa abad yang lalu Banten pernah memiliki 'hubungan spesial' dengan negara-negara tersebut, siapa tahu banyak warga negaranya yang berkeinginan menelusuri jejak nenek moyangnya.

Pengembangan pariwisata Banten memang tidak mudah, diperlukan kecerdasan, inovasi dan kreatifitas dalam pengelolaannya. Semoga upaya pengembangan pariwisata Banten jangan hanya sebatas gagasan, opini, seminar atau lokakarya belaka, dalam hal ini dibutuhkan tindakan dan langkah proaktif (Atep Afia).

Selasa, 06 Januari 2009

SELAMATKAN HUTAN DI BANTEN !


Propinsi Banten memiliki hutan tropis yang luas, namun bersamaan dengan peningkatan jumlah penduduk kualitas dan kuantitas hutan terus mengalami penurunan. Dari sekitar 250 ribu hektar hutan yang ada di Banten, 90 ribu hektar atau 36 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah. Tekanan terhadap ekosistem hutan di bagian utara Banten jauh lebih besar dibandingkan bagian selatan. Bagian utara Banten yang meliputi Kota dan kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sehingga eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, berlangsung cepat dan boros.

Tak dapat dipungkiri, keberadaan kawasan industri dan pemukiman yang terkonsentrasi di bagian utara menyebabkan degradasi kualitas lingkungan sulit dihindari. Idealnya setiap industri harus berwawasan lingkungan, bahkan perlu memenuhi standar manajemen lingkungan seperti ISO 14000. Namun kenyataan di lapangan kepentingan ekonomi selalu mengalahkan kepentingan ekologi, makin pesat pembangunan berlangsung makin banyak komponen lingkungan yang dikorbankan, termasuk hutan.

Di bagian selatan Banten, yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang, kerusakan hutan tidak separah di bagian utara. Namun eksploitasi terus berlangsung, sebagai gambaran di kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Kendeng, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, jawa Barat, areal yang tertutup vegetasi hutan tinggal 75-80 persen, dengan kata lain 20-25 persen areal hutan sudah gundul. Sementara di perbatasan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, seperti di Gunung Karang (meliputi perbatasan wilayah Kecamatan Ciomas, Keduhejo, Pandeglang dan Cadasari) 60 persen areal hutan gundul dan di Gunung Aseupan (perbatasan wilayah Kecamatan Menes, Mandalawangi, Jiput dan Padarincang) 45 persen gundul. Sedangkan di kawasan hutan Gunung Pulosari, perbatasan antara Kecamatan Mandalawangi dan Saketi, Kabupaten Pandeglang 65 persen gundul.

Eksploitasi ternyata tidak hanya terjadi di hutan pegunungan, tetapi juga di kawasan hutan lainnya, seperti hutan yang ada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Ci Danau, Ci Beureum, Ci Simeut, Ci Ujung, Ci Baliung, Ci Banten, Ci Bogor, Ci Durian, Ci Manceuri dan Cisadane. Begitu pula di hutan pantai, baik pantai barat, pantai selatan dan pantai utara, bahkan di Taman Nasional Ujung Kulon, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang juga terjadi perusakan dan penjarahan hutan.

Keruskan hutan juga terjadi di kawasan cagar alam Rawa Dano, Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Sebagai akibat tekanan penduduk, perambahan dan pengelolaan lahan ilegal di cagar alam seluas 2.500 hektar tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan, antara lain dengan melorotnya debit air dari 2.000 liter per detik menjadi hanya 200 liter per detik. Dampaknya berbagai kawasan industri di Kota Cilegon mengalami krisis air. Secara umum eksplotasi hutan menimbulkan terganggunya berbagai fungsi hutan yang sangat sulit untuk dipulihkan kembali.

Multi Fungsi Hutan

Hutan memiliki multi fungsi, mulai dari fungsi klimatologis, hidrologis, sosiologis, biologis, dan ekonomis. Fungsi klimatologis hutan erat kaitannya dengan unsur-unsur iklim seperti hujan, suhu, kelembaban, angin dan sinar matahari. Seluruh hutan yang ada di Banten berperan sebagai 'paru-paru' seluruh ekosistem Propinsi Banten. Sulit dibayangkan, jika seorang manusia mengalami kerusakan paru-paru, maka kehidupannya mengalami banyak gangguan. Begitu pula suatu ekosistem seluas Propinsi Banten, jika hutannya mengalami kerusakan, maka ekosistem itupun menjadi 'sakit'. Jika pohon di hutan terus ditebangi, maka 'sakit' yang diderita ekosistem semakin parah.

Gejala-gejala ekosistem yang 'sakit' antara lain, pemasukan dan pengeluaran (siklus) air tidak terkendali, suhu dan kelembaban meningkat, sinar matahari dan angin kurang termanfaatkan dan tidak terarah. Sinar matahari yang mengenai pohon-pohonan atau vegetasi hutan, maka energinya akan dimanfaatkan dalam proses fotosintesis, sehingga terbentuk karbohidrat untuk pertumbuhan tanaman, termasuk untuk proses terbentuknya kayu. Selain itu, dalam proses fotosintesis itupun, gas karbondioksida (CO2) yang merupakan polutan di udara diserap oleh daun pohon-pohonan, dan dari proses tersebut dikeluarkan oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan untuk pernafasan manusia. Hal inilah yang dimaksud bahwa hutan di Banten merupakan paru-parunya ekosistem Banten.

Sulit dibayangkan, bagaimana kondisi paru-paru dan kesehatan masyarakat perkotaan seperti yang ada di Cilegon, Serang dan Tangerang, yang atmosfirnya penuh dengan gas CO2, CO, SOx, NOx dan polutan lainnya sebagai buangan dari asap kendaraan bermotor, rumah tangga dan pabrik. Sedangkan di sisi lainnya, kawasan hijau di kota-kota tersebut sangat terbatas, bahkan pohon-pohonan di pinggir jalan makin banyak yang ditebangi.

Fungsi hidrologis hutan berhubungan dengan siklus air. Ekosistem hutan memiliki tajuk yang berlapis, mulai dari pohon-pohon berukuran raksasa sampai perdu dan rumput yang menutupi tanah, selain itu daun-daun yang berguguran menjadi serasah dan humus yang juga menutupi tanah. Sistem tajuk berlapis tersebut dapat mengurangi energi kinetik yang berasal dari tetesan atau jatuhan air hujan, sehingga tidak merusak tanah dan tidak menimbulkan erosi.

Pada lahan yang tidak bervegetasi seperti hutan yang gundul, maka ketika hujan datang tetesannya langsung mengenai butiran tanah sehingga dapat menimbulkan erosi. Aliran permukaan yang membawa butiran tanah tersebut akhirnya masuk ke badan sungai dan menimbulkan pendangkalan. Jika curah hujan tinggi maka badan sungai tidak dapat menampungnya, terjadilah luapan air atau banjir, baik di bagian hulu maupun bagian hilir DAS. Kawasan bervegetasi sebenarnya merupakan daerah resapan air, sehingga air yang dialirkan ke sungai sesuai dengan kapasitas sungai dan tidak menimbulkan banjir. Pada musim kemarau di kawasan ini cadangan air masih tersedia, meskipun debit air yang masuk sungai menurun. Sebaliknya pada kawasan yang tidak bervegetasi, seperti hutan gundul, ketika musim kemarau tiba tidak ada lagi cadangan air, sungaipun menjadi kering kerontang.

Kawasan hutan di sekitar Gunung Karang menjadi hulu beberapa sungai yang mengalir ke bagian barat, utara, timur dan selatan Banten, seperti Ci Lamer, Ci Ujung, Ci Asem, Ci Bogor dan Ci Banten. Setiap penebangan pohon di Gunung Karang berdampak langsung terhadap penyusutan debit air di musim kemarau untuk DAS tersebut, sebaliknya pada musim hujan berdampak langsung terhadap kejadian banjir di sekitar DAS tersebut. Posisi kota Serang dan Pandeglang dengan Gunung Karang identik dengan posisi kota Jakarta dengan kawasan Puncak. Dengan kata lain, jika penebangan pohon dan kerusakan hutan di sekitar Gunung Karang tidak terkendali, maka kota Serang dan Pandeglang siap-siap terkena banjir bandang, sebagaimana Kota Jakarta selalu menerima banjir kiriman dari Bogor, sebagai akibat penggundulan kawasan Puncak. Kondisi saat ini, areal bervegetasi di kawasan Gunung Karang hanya tersisa 40 persen.

Fungsi sosiologis hutan berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan harus meningkat kesejahteraannya, namun jika cara yang ditempuh melalui eksploitasi hutan secara habis-habisan, seperti penebangan kayu, penjarahan hasil hutan dan lahan, maka yang terjadi hanyalah pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Dalam hal ini perlu dikembangkan pengelolaan sekitar kawasan hutan yang berkelanjutan, bagaimana agar sumberdaya hutan tersebut bisa awet. Konsep agroforestry merupakan langkah yang tepat jika diterapkan dengan penuh tanggungjawab. Dalam hal ini petani di sekitar hutan diwajibkan untuk menanam pohon yang disela-selanya dibudidayakan tanaman pangan dan hortikultura.

Pengembangan konsep hulu-hilir di setiap DAS juga merupakan langkah yang baik, yaitu supaya masyarakat di sekitar hulu tidak menebang pohon, maka masyarakat pengguna air dan hasil sumberdaya alam di hilir harus memberikan kompensasi kepada pemilik lahan yang ada di hulu. Bagaimanapun sangat tidak efektif jika masyarakat di hulu dilarang menebang pohon, sementara kebutuhan ekonominya dibiarkan tidak tercukupi.

Fungsi biologis hutan kaitannya dengan hutan sebagai bank plasma nuftah atau sebagai cadangan genetik. Hutan menyimpan beragam flora dan fauna yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti plasma nuftah untuk tanaman obat, buah-buahan, sayuran, pangan, hias, industri dan energi. Di hutan tersimpan plasma nuftah tanaman energi seperti jarak, yang dapat digunakan untuk substitusi BBM melalui aplikasi biodiesel. Berbagai plasma nuftah tanaman industri seperti industri kayu, kertas, getah (karet), residu (mentol, terpentin), minyak (cengkeh, kayu putih), farmasi dan kosmetik ada di hutan. Selain itu, hutan pun menyimpan plasma nuftah hewan ternak dan peliharaan, seperti berbagai jenis burung, reptil, mamalia dan sebagainya.

Fungsi ekonomis hutan berhubungan dengan pemanfaatan hutan untuk memperoleh nilai tambah ekonomi, seperti pemanfaatan kayu. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Banten, dalam setahun jumlah pohon yang ditebang di areal hutan dan non-hutan di Banten mencapai 5-6 juta pohon. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang mencapai 750 ribu – 1 juta kubik. Reboisasi dan penghijauan yang dilakukan hanya mencapai 4 juta pohon per tahun, maka terjadi penyusutan jumlah pohon antara 1-2 juta pohon per tahun. Hal tersebut sangat tidak kondusif bagi kondisi lingkungan Propinsi Banten, bahkan bagi Planet Bumi secara keseluruhan. Setiap penyusutan vegetasi hutan tropis, termasuk yang ada di Banten, akan berpengaruh terhadap kondisi iklim di seluruh Planet Bumi, antara lain memberikan kotribusi terhadap pemanasan global.

Revitalisasi

Kondisi dan berbagai fungsi hutan yang ada di Propinsi Banten perlu direvitalisasi, begitu pula kebijakan dan strategi dalam manajemen hutan. Upaya yang harus ditempuh Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat, antara lain melalui penerapan teknik silvikultur (perbaikan kualitas tegakan), pengelolaan aspek ekologi (biodiversity), konservasi tanah dan air, pencegahan bahaya kebakaran hutan, serta penelitian dan pengembangan (Litbang) kehutanan. Dalam Litbang kehutanan di Propinsi Banten, beberapa perguruan tinggi yang ada di Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Lebak perlu diikutsertakan. Perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan kajian kehutanan yang spesifik untuk kawasan masing-masing. Selain itu, melalui program pengabdian masyarakat atau kuliah kerja nyata (KKN) berupaya melakukan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar hutan.

Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa di Propinsi Banten, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda semata, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, seperti lembaga pendidikan (dasar-menengah-tinggi), LSM, Ormas, Orsospol, pengusaha, media massa, dan sebagainya. Pada tahun 1970-an di Propinsi Jawa Barat pernah ada Gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang), alangkah baiknya jika di Propinsi Banten dilaksanakan langkah serupa.

Hal yang tidak kalah pentingnya, setelah Kota Serang berdiri menjadi kota otonom, dalam rencana induk pengembangan (RIP) cukup layak disiapkan pengembangan hutan kota. Kota Serang perlu memiliki ruang terbuka dan hijau (RTH) minimal 20 persen dari luas kota, kalau bisa dibuat Kebun Raya Serang, sebagaimana Kebun Raya Bogor. Reboisasi dan penghijauan harus dilakukan di seluruh wilayah Propinsi Banten, jika tidak maka Banten akan mengalami desertikasi atau penggurunan. Seluruh masyarakat Banten tidak ada yang mau kalau nanti harus tinggal di sebuah gurun yang bernama 'Gurun Banten'. Langkah terbaik untuk mengantisipasinya, 'Selamatkan Hutan di Banten'. (Atep Afia)

Sumber Gambar :
www.tekmira.esdm.go.id

Senin, 05 Januari 2009

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI BANTEN


Perekonomian Propinsi Banten telah mengalami pergeseran, yaitu dari dominasi pertanian menjadi industri. Namun peranan sektor pertanian masih cukup penting, meskipun kontribusinya terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) terus menyusut, dalam penyerapan tenaga kerja masih melebihi sektor industri dan sektor lainnya. Dengan kata lain sebagian besar penduduk Banten ternyata masih mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian.

Persoalannya keberadaan sektor pertanian masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan, terutama usaha tani padi. Padahal berdasarkan analisa usaha tani, budidaya padi tidak banyak memberikan keuntungan. Di satu sisi harga sarana produksi sepert pupuk dan pestisida cenderung naik, di sisi lainnya harga jual padi selalu ditentukan pemerintah melalui kebijakan harga dasar gabah (HDG). Hal tersebut menyebabkan nilai tukar petani (NTP) terus merosot, tingkat kesejahteraan petani menjadi sejajar atau di bawah garis kemiskinan. Sub sektor lainnya seperti perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan juga belum menunjukkan kontribusi yang menggembirakan, baik terhadap kondisi petani maupun terhadap perekonomian Banten secara regional.

Lantas, adakah strategi untuk memperbaiki kondisi petani tersebut ? Strategi yang diharapkan mampu menjadi 'obat mujarab' sehingga dapat 'menyembuhkan ' sektor pertanian yang sedang 'sakit kronis'.

Agribisnis

Menurut pakar ekonomi pertanian dari Amerika Serikat, David Downey dan Steven P. Erickson, agribisnis meliputi lima sektor: Pertama, sektor input (input supply sectors) meliputi pupuk, benih, pestisida, bahan bakar, mesin dan peralatan lainnya; Kedua, sektor primer (farm production sectors) merupakan sentral dari agribisnis, meliputi petani, peternak dan nelayan; Ketiga, sektor sekunder (output sectors), berperan mengubah bahan baku menjadi bahan jadi (agroindustri); Keempat, sektor tersier (market farm product), berfungsi mengantarkan produk sektor primer dan sekunder ke tangan konsumen.

Tak dapat dipungkiri, bahwa Pak Mutolib salah seorang petani padi di Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, telah menjalankan agribisnis sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan sudah turun-temurun, begitu pula para petani di daerah lainnya. Namun persoalannya, usaha tani Pak Mutolib dan kawan-kawan belum berhasil memadukan keempat sektor agribisnis tersebut, terutama untuk sektor sekunder dan tersier.
Dalam sistem agribisnis, petani merupakan sentral, namun untuk kasus agribisnis di Banten dan daerah lainnya, posisi petani masih sangat lemah. Hal itu disebabkan pemilikan modal yang kecil, penggunaan teknologi yang rendah, pemilikan lahan yang sempit, produk yang cepat rusak, ancaman iklim seperti banjir dan kekeringan, gangguan hama dan penyakit tanaman, serta akses yang sangat kecil terhadap sumberdana dan informasi.

Sebenarnya pemihakan pemerintah terhadap petani, khususnya petani padi, sudah berlangsung sejak dimulainya pemerintahan Orde Baru. Hal itu tak lain sebagai kompensasi pemerintah untuk menutupi kegagalan pasar (market failure) yang terjadi. Beragam kebijakan, strategi, program dan proyek pembangunan telah diterapkan pemerintah, dengan maksud untuk memperbaiki kondisi petani. Namun setelah perlakuan khusus terhadap petani tersebut berlangsung hampir empat puluh tahun, hasilnya hampir tidak ada. Sampai saat ini petani belum mampu menjadi pelaku ekonomi yang dapat bersaing di pasar. Mengacu pada teori agribisnis dari David Downey dan Steven P. Erickson, petani belum mampu berkiprah di sektor sekunder dan tersier. Dengan kata lain proses agribisnis yang dijalankan terbatas untuk sektor input dan primer, baru sebatas mengelola sarana produksi dan produksi, sedangkan untuk agroindustri dan pemasaran, justru dikuasai pihak lain.

Untuk beberapa kasus, intervensi pemerintah yang kurang tepat terhadap usaha tani padi, justru menyebabkan kondisi petani makin terpuruk. Menurut Gunawan Sumodiningrat (2004), untuk perbaikan kondisi petani perlu format subsidi yang tepat, yaitu langsung diarahkan ke petani, dengan maksud untuk meningkatkan kapasitas petani agar mampu menjalankan usaha secara komersial dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas petani sebagai aktor utama agribisnis melalui bantuan teknis dan pendampingan, bertujuan membantu petani dalam mengenali berbagai masalah dan potensi yang ada. Pada akhirnya petani dapat membuat prediksi usaha yang tepat sesuai dengan dinamika bisnis jangka panjang. Dengan demikian posisi Balai Pendidikan dan Pelatihan Pertanian, Balai Penelitian Pertanian serta Fakultas Pertanian dengan program-program studinya menjadi sangat penting.

Dalam pengembangan agribisnis, baik untuk sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan, petani tidak bisa dibiarkan sendiri. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pendampingan terutama oleh tenaga penyuluh pertanian. Kondisi yang terjadi di lapangan ternyata sejak tahun 2002 sampai saat ini tidak ada program penyuluh pertanian nasional. Data lainnya menunjukkan, dari 5.187 kecamatan yang ada di Indonesia, baru ada 3.557 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Di Kabupaten Tangerang dari 26 kecamatan hanya terdapat 10 BPP, di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak kondisinya hampir sama. Usia penyuluh pertanian umumnya sudah di atas 50 tahun dan banyak penyuluh yang beralih status dari jabatan fungsional ke jabatan struktural, bahkan ada yang terjun di dunia politik. Kelangkaan penyuluh pertanian perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kalau usaha tani dimodifikasi menjadi agribisnis, maka penyuluh pertanian pun perlu dimodifikasi menjadi konsultan agribisnis. Idealnya setiap desa di Propinsi Banten memiliki minimal satu orang konsultan agribisnis.

Dengan berkembangnya sistem agribisnis, diharapkan menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas, kualitas dan diversifikasi, selain itu dapat mengubah keberadaan petani individual menjadi petani komunal, yang tergabung ke dalam kelompok ekonomi yang besar dan tangguh. Dengan terjadinya modifikasi dari usaha tani menjadi agribisnis, maka kesulitan modal pun tidak terjadi lagi. Sektor perbankan yang ada di Banten sudah selayaknya mau memberikan 'pinjaman khusus' untuk agribisnis. Untuk menumbuhkan iklim yang kondusif, merupakan langkah yang tepat dan strategis jika Pemerintah Propinsi Banten segera mewujudkan berdirinya Bank Banten, yang akan menjadi kebanggaan masyarakat Banten, termasuk petani.

Keterpaduan Sub Sektor

Penanganan agribisnis di Propinsi Banten belum dijalankan secara holistik dan komprehensif, masih terkotak-kotak. Saat ini setidaknya ada tiga dinas dalam lingkup Pemda Propinsi Banten yang menangani agribisnis, yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Ada baiknya dalam pemerintahan Gubernur hasil Pilkada 2006, ketiga dinas tersebut di-merger menjadi Dinas Agribisnis, dengan seorang Kepala Dinas yang cerdas dan kreatif dalam mengembangkan agribisnis di Banten.

Dengan terbentuknya Dinas Agribisis Propinsi Banten, maka upaya pengembangan agribisnis menjadi lebih terpadu dan terarah. Untuk sub sektor tanaman pangan, komoditas padi bisa lebih dikembangkan potensinya, bahkan melalui pengembangan padi organik bisa diperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Padi organik sangat membutuhkan input pupuk organik yang pengadaannya tergantung pada pupuk kandang, maka antara sub sektor tanaman pangan dengan peternakan bisa disinergikan. Dengan adanya pengembangan ternak sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba dan unggas, maka rencana pembukaan impor komoditas yang terkait subsektor peternakan dapat dihindari, bagaimanapun berbagai kalangan menilai rencana tersebut sangat berisiko dan mengancam revitalisasi pertanian.

Melalui konsep agroforestry peningkatan produksi pangan dan hortikultura dapat disinergikan dengan upaya konservasi hutan. Keterpaduan antara subsektor tanaman pangan dengan kehutanan ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi petani di sekitar hutan, selain itu upaya pelestarian hutan pun dapat dilaksanakan secara optimal. Untuk pengembangan komoditas jagung, Banten layak meniru Gorontalo yang 'meproklamirkan' sebagai 'propinsi agribisnis'. Selain dikembangkan di lahan kering, jagung pun dapat dikembangkan melalui konsep agroforestry.

Komoditas hortikultura seperti sayuran, buah-buahan, tanaman obat dan tanaman hias, potensi pengembangannya masih sangat terbuka. Beberapa jenis buah-buahan seperti durian, manggis, sawo, jambu air Cincalo, salak, pisang, rambutan, alpukat dan sebagainya dapat dikembangkan melalui konsep agribisnis. Banten bisa menjadi sentra penghasil buah-buhan sebagai pemasok utama kebutuhan Jakarta. Faktor kedekatan transportasi Jakarta-Banten, bisa menjadi keunggulan komparatif untuk dapat memenangkan persaingan dalam meraih pasar Jakarta. Tanaman hias dapat dikembangkan dengan nilai tambah yang jauh lebih besar, Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang misalnya, meskipun dengan luas lahan yang relatif sempit tetapi dapat memasok berbagai jenis tanaman hias untuk kebutuhan beberapa kota besar di Indonesia, bahkan untuk ekspor. Tak ada salahnya jika agribisnis Banten mulai melirik anggrek. Komoditas ini sangat menggiurkan, saat ini total perdagangan dunia mencapai 150 juta dollar AS, dan pangsa pasar Indonesia hanya 6 persen. Perlu dilakukan observasi keberadaan jenis-jenis anggrek yang ada di hutan-hutan yang ada di Banten, kemudian jenis-jenis yang menarik dapat dikembangkan melalui metode kultur jaringan.

Sub sektor perikanan perlu mendapat perhatian serius.. Banten memiliki perairan yang luas, baik air permukaan (sungai, danau, kolam, tambak) maupun lautan. Kinerja fisik sektor perikanan selama semester pertama tahun 2006 sangat memprihatinkan. Hal itu disebabkan sering terjadinya bencana alam yang merusak tambak, kolam, jaring apung, kapal, tempat usaha dan rumah penduduk di kawasan pesisir. Selain itu realisasi fisik proyek tingkat pencapaiannya sangat kurang, penyebab utamanya ialah keterbatasan lelang proyek perikanan, menyusul terbatasnya pegawai yang menjadi pimpinan proyek.

Sub sektor perkebunan, khususnya di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, potensinya masih cukup besar, antara lain untuk komoditas sawit, kelapa dan karet. Keberadaan BUMN PTPN VIII diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pengembangan perkebunan di Banten, terutama perkebunan rakyat yang kondisinya masih jauh dari aplikasi konsep agribisnis. Kelemahan utamanya sama seperti sub sektor lainnya, yaitu pada agroindustri dan pemasaran.

Sebenarnya Provinsi Banten sudah memiliki beberapa komoditas khas, seperti emping melinjo, gula aren dan sate bandeng, namun promosi yang tidak gencar menyebabkan produk agribisnis tersebut kurang dikenali. Bahkan warga Jakarta saja sangat sedikit yang mengenali sate bandeng, berbeda dengan makanan khas asal Bandung yang cepat populer di Jakarta. Padahal Bandung lebih jauh dari Jakarta daripada Serang. Strategi promosi menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan agribisnis, baik untuk pemasaran produk atau mendatangkan investor.

Pengembangan agribisnis di Banten bertujuan untuk meningkatkan kesejateraan petani. Selain itu, dalam kancah perdagangan global, beragam komoditas agribisnis Banten diharapkan dapat memenangkan persaingan. Seluruh rantai agribisnis, mulai dari pra produksi, produksi, panen, pasca panen (agroindustri) sampai pemasaran harus berlangsung dengan efisiensi yang tinggi. Efisiensi itulah yang menjadi kunci keberhasilan dalam persaingan bebas. (Atep Afia)

Sumber gambar :
http://investment.banten.go.id

Minggu, 04 Januari 2009

BANTEN KURING


Banten adalah sebuah nama yang legendaris, sudah muncul sejak ratusan tahun yang lalu dalam khasanah sejarah dunia. Banten pernah berjaya dan melegenda. Banten pernah menjadi negara yang berdaulat, mampu berinteraksi dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia.

Kini Banten berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berstatus sebagai sebuah Propinsi yang membawahi 4 kabupaten (Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang) dan 4 kota otonom (Serang, Tangerang, Tangerang Selatan dan Cilegon). Bagaimana geliat Banten saat ini ? Blog Banten kuring akan mencoba mengungkapkannya dari berbagai sudut pandang. Semoga bermanfaat. (Atep Afia)

Sumber gambar:
www.banten.go.id
04 Januari 2009