Selasa, 26 Mei 2009

ESENSI PEMBENTUKAN KOTA TANGERANG SELATAN



Kota Tangerang Selatan (Tangsel)dibentuk dengan dasar hukum UU No. 32/2007, tanggal 29 Oktober 2008, meliputi Kecamatan Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Jakarta Selatan (DKI Jaya) dan Kota Depok (Jawa Barat), sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok dan Kabupaten Bogor (Jawa Barat), sebelah utara berbatasan dengan Kota Tangerang, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan meliputi luas wilayah 210,49 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 966 ribu, dengan kepadatan penduduk mencapai 4.589 jiwa per km2.

Pembentukan Kota Tangerang Selatan sebenarnya dapat dikatakan terlambat, jauh tertinggal oleh kota-kota otonom lainnya seperti Cilegon, Depok, Cimahi, Banjar, Batu dan beberapa kota lain di luar Jawa. Mengacu pada kriteria pemekaran seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk dan luas daerah, Tangerang Selatan cukup layak jika dibanding kota-kota otonom lain yang baru dibentuk. Dari segi luas wilayah, Kota Tangerang Selatan lebih luas dibanding Kota Jakarta Selatan dan Kota Bogor, sedangkan dari segi jumlah penduduk hampir sama dengan jumlah penduduk Kota Jakarta Pusat, dan lebih banyak jika dibanding penduduk Kota Bogor.

Dari segi kemampuan ekonomi, kecamatan-kecamatan di Tangerang Selatan merupakan lumbung bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Tangerang. Sektor perkotaan di kawasan ini sudah berkembang pesat, terdongkrak oleh pertumbuhan ekonomi di DKI Jaya, khususnya Jakarta Selatan. Untuk beberapa lokasi di perbatasan, menjadi sulit untuk membedakan apakah termasuk Kawasan Jakarta Selatan atau Tangerang Selatan, bahkan sebagian masyarakat 'merasa' sebagai penduduk Jakarta Selatan.

Perkembangan kawasan Tangerang Selatan, terutama untuk sektor perdagangan, jasa dan perumahan bisa dikatakan yang paling pesat di Indonesia. Sebagai gambaran, para pendatang akan menjadi heran kalau memasuki Kecamatan Serpong, "Wahh… masa kota seperti ini tidak ada wali kotanya, masa hanya berstatus kecamatan…" Serpong merupakan kecamatan yang memiliki fasilitas perkotaan paling lengkap, terutama dengan beroperasionalnya pengembang-pengembang besar seperti BSD City, Alam Sutera, Gading Serpong, dan sebagainya. Di kecamatan ini telah berdiri beberapa pusat perbelanjaan dan pusat bisnis berkelas internasional, sehingga Serpong telah menjadi Kota Wisata belanja. Selain itu di Serpong juga sudah ada beberapa perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Indonesia (ITI) dan Swiss German University (SGU), serta beberapa pusat penelitian milik pemerintah seperti Puspitek. Selain layak dikembangkan menjadi pusat pemerintahan, Kecamatan Serpong bisa dikembangkan menjadi pusat agropolitan. Berbagai jenis tanaman hias (forikultur) seperti anggrek telah banyak diusahakan di kawasan ini.

Kecamatan Ciputat juga mengalami pertumbuhan yang pesat, meskipun dihadapkan pada infrastruktur seperti jalan-jalan dalam kota yang belum memadai. Kemacetan lalulintas menjadi pemandangan sehari-hari di Ciputat. Meskipun telah dibangun Jalan Tol Serpong yang menghubungkan kawasan Jakarta Selatan, Pondok Aren, Ciputat dan Serpong, tetapi belum mengatasi persoalan kemacetan. Di Ciputat sudah sejak lama berdiri beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah (UIN), Universitas Muhamadiyah.

Kecamatan Pondok Aren merupakan sentra pengembangan kawasan pemukiman dan bisnis. Di Pondok Aren misalnya telah berkembang pemukiman Bintaro Jaya dengan berbagai kelengkapan infrastruktur perkotaannya. Selain itu di beberapa kelurahan seperti Parigi, Pondok Pucung dan Jurangmangu Barat saat ini berkembang industri rumah tangga untuk komoditi sepatu, tas dan handuk. Tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Serpong, Ciputat dan Pondok Aren, meskipun tidak berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Kecamatan Pamulang pun mengalami pertumbuhan yang pesat, bahkan tingkat kepadatan penduduknya melampaui kawasan lain, saat ini sudah melampaui 8.000 jiwa per km2. Khusus Kecamatan Cisauk masih banyak memiliki ruang terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut, baik untuk pemukiman, industri atau bisnis agro. Kepadatan penduduk Cisauk masih sekitar 2.000 jiwa per km2.

Esensi Pembentukan

Pembentukan Kota Tangerang Selatan memang merupakan aspirasi masyarakat setempat, tujuan utamanya ialah supaya tingkat kesejahteraan meningkat. Pengelolaan daerah secara otonomi dan mandiri diharapkan dapat memperpendek rentang kendali pemerintahan, sehingga pengelolaan potensi daerah dan sumberdaya manusia bisa lebih optimal. Sebagai kunci sukses terletak pada kemampuan para pengelola yang menduduki birokrasi pemerintahan, mulai dari yang menduduki posisi yang tertinggi sampai yang terendah. Mulai dari Wali Kota, Kepala Dinas/Instansi, Camat sampai Lurah/Kepala Desa, apakah benar-benar memahami posisinya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Begitu pula DPRD yang menjadi lembaga perwakilan rakyat daerah, apakah benar-benar memahami posisinya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Menjadi penyelenggara bukan hanya 'sekedar menyelenggarakan' atau 'sekedar berjalan', namun harus benar-benar berorientasi pada 'penyelenggaraan yang berkualitas dan profesional'. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah pelayanan terhadap masyarakat, terutama yang terbelenggu persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan. Itulah esensi pembentukan daerah otonom baru. (Atep Afia)

Sumber Gambar:
http://www.kompas.com/data/photo/2008/04/28/142850p.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfe7FGJD2ndnarn250z6LkH12l1HYfmcQ98kDRbetI7AegJ2bULpfC6JmzgtMOSfVrSvMdH7aOr6QaWvwrwasveR1oOCkDUMaTgiciIV2-T_YBBPIIWrWzC5bdVKCPH0tZ_O8Rq2RecPMO/s400/tangsel002

NASIB KABUPATEN SERANG PASCA TERBENTUKNYA KOTA SERANG



Sudah sepantasnya Kota Serang terbentuk, mengingat kedudukannya sebagai Ibu Kota Propinsi Banten dan perkembangan perkotaan di Kecamatan Serang dan sekitarnya yang memerlukan pengelolaan administrasi pemerintahan secara khusus.

Kota Serang akan meliputi enam kecamatan, yaitu Kecamatan Serang, Kasemen, Cipocok jaya, Walantaka, Curug, dan Taktakan. Kota Serang memiliki luas wilayah 266,74 km2 atau meliputi 15,38 persen dari luas wilayah Kabupaten Serang, dengan jumlah penduduk sekitar 467 ribu jiwa atau 26,9 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Serang, serta kepadatan penduduk mencapai 1.752 jiwa per km2.

Dari segi wilayah, Kota Serang lebih luas jika dibandingkan dengan Kota Tangerang (186,97 km2) dan Kota Cilegon (175,51 km2). Penduduk Kota Serang lebih banyak dibanding Kota Cilegon (331 ribu jiwa) tetapi jauh lebih sedikit jika dibandingkan penduduk Kota Tangerang (1,5 juta jiwa). Sedangkan tingkat kepadatan penduduk Kota Serang lebih rendah jika dibandingkan dengan Kota Cilegon (1.902 jiwa/km2) dan Kota Tangerang (8.091 jiwa/km2). Dengan berstatus Kota Otonom maka pengembangan Kota Serang akan lebih terarah dan terencana, begitu pula peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat bisa berlangsung lebih optimal. Berbagai indikator potensi daerah seperti yang tercantum dalam PP No. 29/2000 bisa dikelola dengan baik, sehingga Kota Serang akan segera bangkit dan kedudukannya sejajar dengan kota-kota lain yang menjadi ibukota propinsi.

Potensi Kota Serang

Kondisi Kota Serang saat ini belum mencerminkan sebuah kota di Pulau Jawa yang berstatus ibu kota propinsi, tidak usah dibandingkan dengan Bandung, Semarang, Yogya atau Surabaya, dengan Cilegon dan Tangerang saja masih kalah 'cemerlang'. Ketika seorang pendatang masuk ke Kota Serang, mungkin dalam benaknya muncul pertanyaan 'Inikah sebuah ibu kota propinsi ?'.

Perlahan tapi pasti, Kota Serang mulai 'menggeliat', terutama setelah terbentuknya Propinsi Banten, 4 Oktober 2000 lalu, di mana Serang dipilih menjadi pusat pemerintahan, mengalahkan Tangerang yang memiliki infrastruktur jauh lebih baik. Secara historis Serang pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banten, resminya mulai tahun 1808, yaitu setelah Daendels menghancurkan Keraton Surosowan, yang menjadi pusat pemerintahan di Banten Lama. Alasan historis itulah yang menjadikan Serang sebagai ibu kota propinsi.

Dengan menyandang status ibu kota propinsi, bidang perekonomian beberapa kecamatan seperti Kecamatan Serang, Kasemen, Cipocok jaya, Walantaka, Curug, dan Taktakan mengalami perubahan yang cukup drastis. Kecamatan-kecamatan tersebut semula tergantung pada pertanian, namun saat ini kegiatan ekonomi yang bersifat perkotaan seperti industri, jasa, keuangan, pengangkutan, bangunan dan listrik mulai mendominasi. Jika untuk seluruh Kabupaten Serang kegiatan ekonomi non pertanian memberikan kontribusi sampai 85 persen, maka untuk kecamatan-kecamatan yang akan menjadi wilayah Kota Serang sudah melampaui 90 persen.

Perkembangan Kota Serang akan semakin pesat karena memiliki akses ke pintu gerbang internasional seperti Bandara Soekarno Hatta dan Pelabuhan internasional Bojonegara (masih dalam proses pembangunan). Letak Kota Serang pun tidak jauh dari Pelabuhan Banten di Ciwandan (Kota Cilegon), sehingga berbagai produk industri pengolahan bisa lebih mudah dalam menjangkau pasar internasional. Selain itu, Kota Serang sudah dihubungkan jalan tol dengan kota-kota di sekitarnya, seperti Cilegon, Tangerang, bahkan Jakarta. Berbagai kelengkapan infrastruktur tersebut diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi investor dalam dan luar negeri, serta wisatawan Nusantara dan manca negara untuk semakin 'menghidupkan' Kota Serang. Dengan adanya pertumbuhan kota diharapkan dapat memacu kesejahteraan masyarakat Kota Serang, maka dampak pemekaran wilayahpun benar-benar dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat.

Selain sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, Kota Serang pun berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan. Saat ini di Serang terdapat belasan perguruan tinggi dengan berbagai bidang studi, dua di antaranya adalah PTN, yaitu Universitas Tirtayasa (Untirta) dan IAIN Maulana Yusuf. Untuk mempercepat kemajuan Kota Serang dan Propinsi Banten pada umumnya, beberapa bidang studi seperti teknologi informasi, ilmu komunikasi, bioteknologi, ekonomi syariah dan kajian sejarah dan budaya Banten perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Kota Serang harus menjadi 'lokomotif' untuk kembalinya masa keemasan Banten, termasuk dibidang budaya, sehingga memberikan inspirasi bagi masyarakat Banten untuk meraih kejayaannya kembali.

Nasib Kab. Serang

Setelah Kota Serang mandiri lalu bagaimana dengan nasib Kabupaten Serang. Banyak persoalan yang akan dihadapi, mulai dari pemindahan ibukota kabupaten, penyusutan pendapatan asli daerah (PAD), distribusi aset, kepegawaian, dan sebagainya. Menyangkut PAD yang meliputi retribusi pasar, parkir, rumah sakit dan terminal bus, yang sebelumnya masuk ke kas Pemda Kabupaten Serang, maka setelah lahir Kota Serang sebagian besar akan masuk ke kas Pemda Kota Serang. Hal ini secara langsung akan menyebabkan penurunan drastis PAD Kabupaten Serang. Kejadian seperti itu pernah dialami Pemda Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat setelah terbentuknya Kota Tasikmalaya. Jika pada tahun 2001 PAD Kabupaten Tasikmalaya mencapai Rp. 25 miliar, maka tahun 2002 setelah Kota Tasikmalaya terbentuk, PAD-nya hanya mencapai Rp. 14 miliar.
Sebagian besar PAD Kabupaten Serang dihasilkan oleh Kecamatan Serang dan sekitarnya, yang tidak lama lagi akan berstatus kota otonom. Namun dalam hal ini Edi Mulyadi, Ketua Tim Percepatan Pembentukan Kota Serang (TPPKS) memperkirakan, bahwa PAD Kota Serang dapat mencapai Rp. 12 miliar, sementara PAD Kabupaten Serang saat ini mencapai Rp. 70 miliar (Tribun, 18 Nopember 2006).

Setelah enam kecamatan 'melepaskan diri' dari Kabupaten Serang, sebenarnya masih tersisa 28 kecamatan lagi. Namun seperti anak ayam yang kehilangan induknya, perlu proses dan waktu yang cukup lama untuk menunggu kebangkitan kecamatan-kecamatan tersebut. Hampir semua kecamatan perkembangannya tidak sepesat Kecamatan Serang yang selama ini menjadi induknya, kecuali Kecamatan Anyer yang memiliki potensi pariwisata dan Kecamatan Cikande yang berkembang pesat karena memiliki kawasan industri.
Untuk terbentuknya Kota Serang, Kabupaten Serang memiliki kewajiban memberikan dukungan pada daerah pemekaran berupa dukungan anggaran sebesar Rp. 5 miliar dari RAPBD 2007. Selain itu Kota Serang mendapat bantuan operasional dari Pemerintah Provinsi Banten sebesar Rp. 5 miliar. Setelah itu Kabupaten Serang akan membutuhkan banyak dana, antara lain untuk menyusun anggaran daerah, mengembangkan potensi wilayah dan memindahkan lokasi ibu kota kabupaten.

Mencari lokasi untuk ibu kota kabupaten tidak mudah, daerah-daerah seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cirebon Jawa Barat, selama puluhan tahun kantor kabupatennya masih menumpang di wilayah Kota. Begitu pula Kabupaten Tangerang, bahkan sampai sekarang upaya pemindahan ibu kota ke Tigaraksa belum tuntas, masih banyak dinas-instansi di lingkungan Kabupaten Tangerang yang masih berkantor di Kota Tangerang.

Pembentukan kota baru seperti Kota Serang, dengan sendirinya menyebabkan kabupaten induk seolah mengalami 'amputasi', sehingga harus merintis berbagai hal dari awal. Dalam beberapa kasus serupa, ternyata tingkat perekonomian seperti pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di wilayah kabupaten induk bisa lebih rendah, jika dibandingkan dengan daerah hasil pemekaran. Hal tersebut menjadi 'pekerjaan rumah' yang cukup serius bagi pemerintah Kabupaten Serang pasca terbentuknya Kota Serang. Padahal 'pekerjaan rumah' yang lama pun masih menumpuk, mulai dari persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan data dari BPS dan Bappeda Kabupaten serang, jumlah keluarga miskin meningkat dari 63 ribu pada tahun 2003, menjadi 103 ribu pada tahun 2005.

Penyelesaian berbagai 'pekerjaan rumah' tersebut membutuhkan kinerja dan sinergi yang baik antara Pemda dan DPRD Kabupaten Serang. Hal yang terpenting ialah bagaimana supaya Kabupaten Serang selaku 'induk' dan Kota Serang selaku 'anak', kondisinya segera pulih pasca proses pembentukannya. Sehingga dengan posisi keduanya sebagai daerah otonom, tetap mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, mengakomodasi prakarsa dan aspirasi masyarakat, dengan selalu memenuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Berbagai ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah selayaknya dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggunjawab, baik oleh Pemda dan DPRD Kabupaten Serang, maupun oleh Pemda dan DPRD Kota Serang. (ATEP AFIA)

Rabu, 11 Maret 2009

PELUANG KABUPATEN CIBALIUNG



Tidak mau ketinggalan dengan masyarakat di daerah lain, masyarakat di tujuh kecamatan yang ada di eks Kewadanaan Cibaliung, yaitu masyarakat Kecamatan Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, Cikeusik, Cimanggu, Panimbang dan Sumur, juga mengajukan tuntutan pembentukan Kabupaten Cibalung, terpisah dari induknya Kabupaten Pandeglang. Terlepas dari akan disetujui atau tidak oleh pemerintah pusat, namun aspirasi masyarakat tersebut patut diberi dukungan dan apresiasi, baik oleh Pemerintah Daerah (Pemda) maupun DPRD Kabupaten Pandeglang, begitu pula Pemda dan DPRD Propinsi Banten.
Tampaknya berbagai upaya yang telah ditempuh masyarakat Cibaliung mulai mendapatkan 'lampu hijau', tujuh fraksi di DPRD Pandeglang menyatakan setuju pada Rapat Paripurna 15 Desember 2006 yang lalu. Begitu pula Bupati Pandeglang, HA Dimyati mulai memberikan respons, antara lain dengan rencana pengalokasian dana sebesar Rp. 500 juta dalam APBD 2007 untuk biaya pengkajian wilayah.

Proses yang berlangsung ditingkat kabupaten akan berjalan cukup alot, mengingat dalam waktu yang bersamaan, masyarakat eks Kewadanaan Caringin juga mengajukan tuntutan serupa. Kabupaten Pandeglang saat ini dapat diibaratkan seperti 'induk' yang akan melahirkan 'anak kembar'. Bisa saja hasil kajian memberikan kesimpulan untuk mendahulukan salah satunya, terlebih dahulu membentuk Kabupaten Cibaliung, setelah itu baru Kabupaten caringin. Bisa juga sebaliknya, Kabupaten Caringin dulu, baru Cibaliung. Kemungkinan lain, bisa saja Cibaliung dan Caringin digabungkan menjadi satu Kabupaten.

Setelah tahapan ditingkat kabupaten dapat diselesaikan, baik meliputi inisiatif maupun penelitian, langkah berikutnya usulan pembentukan kabupaten disampaikan ke pemerintah pusat melalui Gubernur Banten. Selanjutnya tim dari pusat, dalam hal ini Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) melakukan observasi dan penilaian. Jika DPOD menyetujui, maka RUU Pembentukan Kabupaten Cibaliung diusulkan ke presiden. Apabila Presiden RI setuju, maka RUU disampaikan ke DPR untuk disyahkan menjadi UU Pembentukan Kabupaten Cibaliung.

Pembentukan Kabupaten Cibaliung membutuhkan perjuangan yang tidak kenal menyerah, untuk tingkat kabupaten harus 'bersaing' dengan Caringin. Ditingkat Propinsi 'bersaing' dengan usulan pembentukan Kota Serang (pemekaran Kab. Serang), Kota Tangerang Selatan (pemekaran Kab Tangerang) dan Kabupaten Cilangkahan (pemekaran Kab Lebak). Sementara ditingkat pusat harus 'bersaing' dengan lebih dari seratus usulan pembentukan daerah baru.

Potensi Cibaliung
Untuk menilai layak-tidaknya sebuah kawasan menyandang status daerah otonom setingkat kabupaten, paling tidak ada enam kriteria yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk dan luas daerah.

Pertumbuhan ekonomi calon Kabupaten Cibaliung saat ini sekitar 4-5 persen, dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar Rp. 300.000 – 350.000,-, sedangkan garis kemiskinan sebesar Rp. 130.000 – 150.000,- Sehingga diperkirakan persentase penduduk miskin ada pada kisaran 12-14 persen, dari jumlah penduduk yang mencapai 247 ribu jiwa (22 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang). Komunitas masyarakat yang berpeluang besar hidup di bawah garis kemiskinan ialah ribuan nelayan, yang tersebar di garis pantai Samudera Indonesia, Teluk Keusiklega, Teluk Peucang, Teluk Selamat Datang, Selat Sunda dan Teluk Lada. Potensi perikanan dan kelautan calon Kabupaten Cibalung sangat besar, tetapi pengelolaannya masih bersifat konvensional. Dengan demikian sektor tersebut perlu menjadi prioritas utama bagi pemerintah Kabupaten Cibaliung kelak.

Kabupaten Cibaliung akan memiliki luas wilayah 1.692 km2 (62 persen dari luas Kabupaten Pandeglang). Dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 146 jiwa per km2, maka daerah ini akan menjadi kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah dan jumlah penduduk paling sedikit di Pulau Jawa. Hal tersebut mengindikasikan dua hal, yaitu masih banyaknya ruang hijau dan terbuka (sebagian masih berupa hutan) dan terjadinya kelangkaan penduduk dibanding daerah lain. Distribusi penduduk calon Kabupaten Cibaliung tidak merata, berkisar antara 74 – 296 jiwa per km2. Kecamatan Sumur paling langka penduduknya, sedangkan Kecamatan Panimbang jauh lebih padat dibanding enam kecamatan lainnya.

Kecamatan Sumur merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Ujung Kulon, berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, baik wanawisata, ekowisata maupun wisata bahari. Potensi wisata bahari lainnya ada di Kecamatan Panimbang, terutama di Pantai Lada dan Tanjung Lesung. Begitu pula pantai selatan yang termasuk wilayah kecamatan Cikeusik, Cibitung dan Cimanggu. Di lepas pantai daerah-daerah tersebut terdapat Pulau Tinjil dan Pulau Deli. Sedangkan di lepas pantai barat terdapat Pulau Panaitan, Pulau Peucang dan Pulau Handeuleum.

Pemerintah Kabupaten Cibaliung kelak, harus mampu mendatangkan investor untuk menggarap kawasan tersebut menjadi kawasan wisata internasional. Resort dengan fasilitas seperti snorkeling, outbond, jetski, banana boat, jacuzzy, spa, trekking, gazebo on the beach dan breeding butterfly, dapat dikembangkan di kawasan tersebut.
Setelah sektor perikanan dan kelautan serta pariwisata, potensi calon Kabupaten Cibaliung berikutnya ialah pertanian. Sampai saat ini masih lebih dari 50 persen penduduk memiliki pekerjaan utama di sektor pertanian, dengan tingkat pendapatan yang rendah, terutama untuk subsektor tanaman pangan.
Pertanian di Cibaliung yang umumnya masih tradisional perlu dikembangkan dengan sistem agrobisnis, yaitu dengan memadukan bagian hulu dan hilir. Mulai dari produksi, panen, pengolahan sampai pemasaran harus ada keterpaduan, sehingga petani benar-benar menikmati nilai tambah.

Berbagai Dampak
Jika Cibaliung berhasil menyandang status sebagai daerah otonom, maka sebagai konsekuensinya akan mendapat dampak positif dan negatif. Dampak positif, daerah ini akan memiliki perangkat pemerintahan, baik Pemda dengan dinas-dinas teknisnya, maupun DPRD sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Jika dua elemen pemerintahan ini bekerja profesional, maka kesejahteraan masyarakat pun dengan sendirinya akan meningkat. Sebagai gambaran, dengan adanya Dinas Pendidikan Kabupaten Cibaliung, maka berbagai persoalan bidang pendidikan seperti buta huruf, putus sekolah, kekurangan fasilitas belajar-mengajar dan sebagainya lebih mudah untuk mengatasinya. Namun jika elemen pemerintahan mengalami disfungsi kinerja, malah yang terjadi justru akan tambah menyengsarakan masyarakat.

Dampak negatif dari terbentuknya Kabupaten Cibaliung ialah kawasan ini menjadi 'terbuka', apalagi jika Pemda mampu mendatangkan investor. Pepatah mengatakan ada gula ada semut, maka pertumbuhan penduduk akan meningkat pesat. Jika tidak tertanggulangi angka pengangguran pun akan bertambah. Setiap penambahan jumlah penduduk maka eksploitasi terhadap sumberdaya alam pun akan meningkat. Padahal kawasan ini menyimpan sedikit dari cagar alam yang ada di Pulau Jawa.
Dengan demikian perlu antisipasi sejak dini, supaya tujuan utama pembentukan Kabupaten Cibaliung, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, benar-benar tercapai. Langkah tersebut perlu dirumuskan dalam Rencana Stretegis Pembentukan kabupaten Cibaliung. (Atep Afia)

Sumber Gambar http://www.distanak.banten.go.id/UserFiles/Image/peta%20kawasan%20hortikultura/Horti%20pandeglang.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5EIaINi_FZ5WDgm87vLSQ9D6ENL0pDXaseOFEDeAkwZq3RROi4hdoN9iucN4O3qtPeOuZH-HU-sjv0hP2itXZETCfnKyEkawALIAFCa9ao3u1d7UrNqA38Rwvl_0aibNc9YeNVN9SvmD9/s400/ujung+kulon+national+park1.jpg

Kamis, 05 Februari 2009

MENUJU BANTEN BERBASIS INTERNET

Suatu saat, setahun, dua tahun atau beberapa tahun lagi, seluruh desa di Propinsi Banten sudah tergabung dalam suatu jaringan komunikasi, khususnya internet. Bahkan bisa saja Desa Bangkonol di Lebak Selatan sudah memiliki situs internet www.bangkonol.go.id, begitu pula Desa Barengkok dengan www.barengkok.go.id. Dengan keberadaan kedua situs tersebut, potensi kedua desa bisa diketahui oleh siapapun dan di negara manapun, dan investor atau wisatawan manca negara berdatangan.

'Banten berbasis internet' dapat tercapai setelah semua desa terhubung dalam jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Sebelum terbentuknya jaringan desa, terlebih dahulu harus terbentuk jaringan kecamatan dan kabupaten/kota, jaringan pendidikan (SD, SLTP, SMU/SMK dan Perguruan Tinggi) jaringan kesehatan (Puskesmas, RS) dan jaringan bisnis (perusahaan besar dan UKM). Untuk tingkat propinsi dan kabupaten/kota saat ini situs internetnya sudah dapat diakses (www.banten.go.id, www.kabtangerang.go.id., www.cilegon.go.id dan sebagainya), begitu pula beberapa Perguruan Tinggi (www.untirta.ac.id, dll) dan perusahaan (www.krakatausteel.co.id, dll).

Hal itu tidak terlepas dari hasil pertemuan pertama World Summit Information Society (WSIS), berlangsung 10 Des 2003 di Jenewa, yang melahirkan Declaration on Principles (DP) dan Plan of Action (PA). DP memuat komitmen setiap pemerintah untuk membangun masyarakat informasi yang memungkinkan setiap orang dapat membuat, mengakses, menggunakan dan tukar-menukar informasi dan pengetahuan. Sedangkan PA memuat indikator target pencapaian akses universal secara bertahap sampai tahun 2015.
Indikator dalam PA tersebut antara lain, adanya kewajiban setiap kantor pemerintah pusat terhubung teknologi informasi dan komunikasi, memiliki situs dan alamat elektronik (e-mail) pada tahun 2005. Sedangkan tahun 2010 seluruh pemerintah daerah (Pemda propinsi, Kabupaten/Kota, kecamatan, Desa/Kelurahan); berbagai pelayanan umum, kesehatan, museum, arsip data dan kantor pos; serta seluruh SMP dan SMA harus terhubung teknologi informasi dan komunikasi. Untuk tingkat SD harus terhubung teknologi komunikasi dan informasi selambat-lambatnya tahun 2015.

Dampak yang Luas
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, hukum, pertahan dan keamanan. Berbagai data dan informasi diintegrasikan dengan menggunakan sarana telekomunikasi, sehingga didapatkan sinergi oleh semua pihak dalam beragam kepentingan. Kemajuan telekomunikasi pun berkembang begitu pesat, salah satu alat ukur ialah jumlah satuan sambungan telepon. Tidak lama lagi paradigma tersebut akan berubah, kemajuan telekomunikasi akan diukur berdasarkan jumlah satuan sambungan pengetahuan.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat menyebabkan terbukanya peluang bagi setiap individu, masyarakat, desa bahkan negara untuk memperoleh kemajuan dengan pesat. Beragam ilmu pengetahuan dan peluang-peluang bisnis yang termuat di internet, sebagian dapat diakses dengan gratis. Namun di sisi lain ternyata dampak negatif internet sulit dihindari. Menurut pakar teknologi informasi, Onno W Purbo, 16 persen informasi di internet berpengaruh buruk, seperti pornografi. Namun sebagian besar informasi ternyata berpengaruh baik.

Tingkat penguasaan teknologi komunikasi dan informasi sangat berpengaruh terhadap daya saing individu, masyarakat, desa bahkan negara dalam arena kompetisi global. Barangsiapa yang terbelakang dalam teknologi informasi dan komunikasi maka akan terpuruk, bahkan terpinggirkan dalam pentas globalisasi. Dengan demikian, jika Provinsi Banten ingin maju maka salah satu syaratnya ialah SDM-nya 'melek' informasi dan mampu mengakses teknologi informasi.

Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi memang sangat penting, namun dalam hal ini harus tetap memperhatikan aspek legalitas. Dalam hal ini muncul prestasi yang 'tidak menggembirakan', yaitu Indonesia sebagai negara pembajak piranti lunak terbesar kelima di dunia, yaitu setelah Vietnam, Ukraina, Cina dan Zimbatwe. Hal ini menjadi dilema, di satu sisi kalau menggunakan piranti lunak yang asli, maka tingkat keterjangkauan masyarakat menjadi sangat terbatas, sebaliknya kalau menggunakan piranti lunak bajakan maka mau tidak mau terlibat dalam aksi pelanggaran hak cipta dan ini melanggar hukum.

Untuk saat ini, tingkat pemahaman teknologi informasi dan komunikasi Indonesia berada di pringkat ke-51 dari 104 negara, di bawah Malaysia (27) dan Thailand (36). Sedangkan tingkat penetrasi komputer personal hanya 11 persen dari jumlah penduduk, dengan demikian di Indonesia saat ini baru digunakan sekitar 23 juta komputer personal (PC), ratusan ribu di antaranya ada di Banten. Untuk penggunaan internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 18 juta orang (8 persen dari jumlah penduduk), ratusan ribu di antaranya ada di Banten.

Pemerintah pusat, Pemprov atau Pemkab/Pemkot perlu membuat terobosan kreatif, apalagi jika mengingat anggaran pendidikan yang masih jauh dari ideal (kurang dari 20 persen APBN/APBD), yaitu bagaimana supaya jumlah PC yang yang dapat digunakan untuk melakukan koneksi nirkabel untuk akses internet bisa bertambah. Dalam hal ini, melalui kerjasama dengan sebuah yayasan nirlaba di AS, pemerintah Libya mulai Juni 2008 akan menyediakan laptop untuk 1,2 juta siswa.

Apakah langkah tersebut dapat ditiru oleh Pemprov Banten, misalnya dengan mengadakan kerjasama dengan Bill Gates, untuk membantu penyediaan PC atau laptop untuk mahasiswa di Banten. Langkah lainnya, bisa saja Pemprov Banten memprakarsai penghimpunan dana dari kalangan perusahaan swasta/BUMN dalam 'Program Seribu Laptop untuk Mahasiswa Banten'. Kalau harga laptop sekitar Rp. 5-10 juta rupiah, maka dana yang diperlukan hanya sekitar Rp. 5-10 milyar rupiah, sangat kecil jika dibandingkan ongkos Pilkada Banten 2006. Berdasarkan verifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada calon gubernur Banten dengan kekayaan lebih dari Rp. 300 milyar rupiah, dengan demikian jumlah dana untuk 'Program Seribu Laptop untuk Mahasiswa Banten', hanya sekitar 1,5 – 3 persen dari kekayaan sang Cagub, ya bisa sebagai zakat mal. Dengan memberikan fasilitas teknologi informasi bagi mahasiswa, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan dampak yang luas bagi masyarakat Banten untuk menjadi knowledge-based information society.

Perlu Filter
Saat ini ratusan ribu warga Banten, yang sebagian besar kalangan muda usia, sudah dapat mengakses internet, baik melalui warnet, jaringan internet di rumah, di sekolah/kampus atau di kantor. Persoalannya berapa persen dengan tujuan konstruktif, artinya dengan memanfaatkan internet maka potensi SDM-nya meningkat, dan berapa persen yang destruktif, artinya dengan memanfaatkan internet, justru potensi SDM-nya menurun. Lantas, bagaimana dampaknya jika seluruh desa di Provinsi Banten sudah dapat mengakses internet, apakah Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Imtak (keimanan dan ketakwaan) masyarakat meningkat atau menurun ? Apakah kesejahteraan masyarakat meningkat atau menurun? Apakah tingkat kriminalitas meningkat atau menurun ?

Dengan demikian, perlu adanya ketegasan dari instansi terkait dalam mengawasi dinamika dunia maya tersebut. Baru-baru ini pemerintah Malaysia memblokir 1,5 juta situs porno yang ada di internet, begitu pula pemerintah Cina memblokir situs-situs tertentu yang dianggap membahayakan keamanan negara, bahkan pemerintah Amerika Serikat yang liberal pun ternyata masih memberikan pengawasan terhadap situs-situs internet tertentu, khususnya yang diduga dikendalikan 'jaringan terorisme internasional'. Indonesia yang bukan negara liberal, tentu saja perlu menerapkan kebijakan khusus menyangkut internet, tetapi bukan berarti membatasi hak asasi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam hal ini Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DTIKN), yang diresmikan pembentukannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, di Bogor, 13 November 2006, diharapkan dapat mentransformasikan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Banten, menjadi masyarakat informasi berbasis pengetahuan. Jenis pengetahuan yang dapat diakses adalah pengetahuan yang dapat meningkatkan beragam kecerdasan masyarakat, baik inteletual, emosional, spiritual, sosial, manajerial dan finansial.

Perkembangan teknologi informasi selain menjadi 'ladang amal', juga menjadi 'lumbung dosa'. Dengan demikian setiap orang yang 'menikmati' dan 'menggeluti' teknologi informasi, selain harus memiliki kecerdasan intelektual, juga harus menguasai serta menerapkan kecerdasan emosional dan spiritual. Di sinilah letak 'filter' yang sesungguhnya, yaitu ada pada diri masing-masing. (Atep Afia Hidayat, Pengamat Masalah Pengembangan SDM dan Lingkungan Banten)

Sabtu, 10 Januari 2009

MEMPERHATIKAN NASIB PETANI BANTEN

Secara perlahan tapi pasti Propinsi Banten telah muncul sebagai 'provinsi industri'. Hal itu antara lain ditandai dengan kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencapai 52 persen, sedangkan kontribusi sektor pertanian hanya 8,9 persen (PDRB Banten tahun 2005 mencapai Rp. 80 triliun) . Pertumbuhan sektor industri di Banten tidak lepas dari dikembangkannya 17 kawasan industri yang seluruhnya berlokasi di Banten Utara (Cilegon, Serang dan Tangerang). Ternyata sektor industri di Banten hanya menyerap 22 persen tenaga kerja, sedangkan pertanian mampu menyerap 27 persen dari angkatan kerja.

Data-data tersebut menunjukkan, bahwa sektor industri hanya berkembang di Banten Utara dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja tidak lebih baik dari sektor pertanian. Kalaupun ditelaah lebih lanjut, pertumbuhan sektor industri di Cilegon, Serang dan Tangerang hanya terkonsentrasi di beberapa kecamatan tertentu, seperti Cilegon, Cikande, Cikupa, Cisoka, Balaraja, dan beberapa kecamatan di Kota Tangerang. Sebagian besar kecamatan yang ada di Banten Utara sebenarnya masih berbasis pertanian. Di sisi lainnya ternyata hampir seluruh kecamatan di Banten Selatan (Lebak dan Pandeglang) juga masih berbasis pertanian.

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Lebak dan Pandeglang masih berkisar antara 30-35 persen, sedangkan angkatan kerja yang diserap sekitar 50-55 persen. Dengan demikian, pengembangan sektor pertanian perlu menjadi prioritas, kondisi petani sebagai 'aktor utama' perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Bukan sekedar perhatian yang lebih penting ialah adanya solusi yang proaktif.

Seperti 'Anak Tiri'

Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini sektor pertanian masih seperti 'anak tiri' dalam pembangunan nasional. Keberadaan petani sebagai pelaku utama masih dipandang sebelah mata, kehidupannya makin terpuruk ditengah-tengah beragam kebijakan pemerintah yang tidak memihak (kebijakan harga pupuk, harga gabah, dan sebagainya). Saat ini di Propinsi Banten jumlah penduduk miskin mencapai 1, 3 juta orang, atau sekitar 16 persen dari seluruh penduduk. Ternyata sekitar 60-70 persen penduduk miskin tersebut merupakan penduduk yang hidup di sektor pertanian.

Kalau ditelaah lebih jauh lagi, kondisi paling terpuruk dialami oleh petani padi, secara perlahan, kontribusi usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani telah menurun drastis, yaitu dari 36,2 persen tahun 1980-an menjadi sekitar 13,6 persen tahun ini. Selain itu, ternyata lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian, seperti dari dagang, buruh kasar dan ngojek. Maka tak heran jika sebagian anggota keluarga petani dari Kecamatan Cibaliung, Munjul, Panimbang, Malingping, Leuwidamar, Padarincang, Sepatan, Kronjo dan sebagainya banyak yang mencari nafkah sebagai pekerja sektor informal di kota-kota Cilegon, Tangerang, Jakarta, bahkan jadi TKI di luar negeri.
Karena usaha tani tidak menarik lagi, di beberapa desa di Kecamatan Curug Kabupaten Serang, sebagian petani ngobyek atau 'beralih profesi' menjadi pencetak batu bata. Pada bulan September 2006 yang lalu, sebagian keluarga mengkonsumsi nasi aking (nasi bekas yang dikeringkan) sebagai pengganti nasi, karena daya beli yang melemah, kemarau yang berkepanjangan menyebabkan usaha mereka terhenti. Sementara ratusan keluarga petani di Kecamatan Patia dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang mengalami rawan pangan, akibat gagal panen pada bulan Mei-Juni 2006 yang lalu.

Itulah gambaran kondisi sebagian petani Banten yang makin terpuruk. Dalam hal ini perhatian pemerintah, baik pusat atau daerah (Pemda) terhadap kondisi petani dan pertaniannya memang cukup besar. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) misalnya, menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Untuk pertanian ada empat kebijakan: kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, pembangunan infrastruktur pedesaan, ketahanan pangan, dan perdagangan produk pertanian. Begitu pula dalam kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi Banten yang baru lalu, beberapa pernyataan yang muncul antara lain: peningkatan pembangunan di sektor pertanian agar bisa mendukung industri, pengembangan industri pengolahan produk pertanian, pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian, dan sebagainya. Namun hendaknya perhatian dan pernyataan tersebut tidak sekedar menjadi retorika belaka, petani butuh bukti dan bukan janji.

Petani sudah lelah menjadi 'anak tiri', padahal selama ini petani tidak seperti kelompok masyarakat lainnya, yang sangat getol menyuarakan tuntutannya supaya pemerintah memperhatikan berbagai kepentingannya. Petani begitu sabar, jarang mendatangi gedung DPR atau DPRD, meskipun berbagai persoalan selalu menghinggapinya. Padahal anggota dewan yang terhormat bisa duduk di kursi dewan, sebagian besar adalah karena titipan suara petani. Tak dapat dipungkiri sebagian besar pemilih, baik dalam pemilihan anggota legislatif, Pilpres atau Pilkada berasal dari petani dan anggota keluarganya.

Subsidi dan Insentif

Keberadaan petani dan pertaniannya sangat penting bagi kelangsungan bangsa dan negara ini. Sulit dibayangkan, bagaimana jadinya jika petani secara serempak mogok turun ke sawah dan ladang. Produksi padi nasional akan terganggu, ketahanan pangan akan terancam dan negara pun dihadapkan pada persoalan serius. Bagaimanapun tulang punggung atau pahlawan ketahanan pangan sejati ialah para petani, yang lain hanya ikut nebeng dan beken. Sebagai gambaran, saat ini penduduk Provinsi Banten mencapai 9,1 juta jiwa, dengan konsumsi beras rata-rata per kapita per tahun mencapai 140 kg, sehingga jumlah beras yang harus diproduksi petani Banten sekitar 1,274 juta ton.
Jika kemampuan petani tidak mencapai angka tersebut, maka kebutuhan beras tidak terpenuhi, beras menjadi langka dan harganya akan meningkat. Padahal menurut staf ahli Menko Perekonomian, Mohamad Ikhsan, setiap 10 persen kenaikan harga beras, akan menaikkan kemiskinan 1 persen. Dengan demikian jika harga beras di Banten naik 10 persen, maka persentase kemiskinan akan meningkat dari 16 menjadi 17 persen. Kalau harga beras naik 20 persen, maka persentase kemiskinan akan meningkat dari 16 menjadi 18 persen, dan seterusnya. Pada pertengahan September 2006 yang lalu, ketika harga beras di Desa Cilaku Kecamatan Curug Kabupaten Serang mencapai Rp. 3.700 – 4.000 per liter (setara dengan Rp. 4.625 – 5.000 per kg), sudah banyak penduduk yang tidak sanggup membelinya, sehingga beralih ke nasi aking dengan harga Rp. 500 per liter (Rp. 625 per kg).

Di sisi lainnya, ekonom Didik J. Rachbini mengemukakan, bahwa setiap peningkatan harga beras sebesar Rp. 1.000 per kg akan meningkatkan inflow dana ke pedesaan sekitar Rp. 33 triliun (tersebar untuk sekitar 69.000 desa di Indonesia). Untuk Propinsi Banten, setiap kenaikan harga beras Rp. 1.000 per kg, akan meningkatkan arus masuk dana ke pedesaan sekitar Rp. 700 miliar, tersebar untuk sekitar 1.500 desa.

Dengan demikian persoalan tersebut menjadi dilematis bagi pemerintah, seperti buah simalakama, jika harga beras dinaikkan maka jumlah penduduk miskin akan bertambah, sebaliknya jika harga beras ditekan maka kondisi kehidupan petani akan makin terpuruk. Saat ini kondisi nilai tukar petani makin merosot, hal itu terjadi karena harga beras mengalami stagnasi dan jauh di bawah perkembangan harga barang yang dikonsumsi petani.

Sementara beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh harga beras, sehingga untuk itu harus dilakukan stabilisasi harga beras. Caranya antara lain dengan membanjiri pasar domestik dengan beras impor, supaya harga domestik dapat ditekan. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi petani di Banten, jika di pelabuhan-pelabuhan di Kota Cilegon berdatangan kapal-kapal asing yang memuat beras impor. Kenyataannya tahun ini pemerintah pusat masih mengimpor 210 ribu ton beras. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Achmad Suryana, dari seluruh produksi beras nasional yang mencapai 32 juta ton, angka impor tersebut 'hanya' di bawah satu persen dan tidak berarti banyak.

Persoalannya bukan hanya pada sedikit-banyaknya jumlah impor, namun munculnya berita impor beras tersebut secara psikologis bisa menurunkan motivasi petani, karena setiap kenaikan angka impor berarti terjadinya penurunan harga beras lokal. Dengan menurunnya harga beras maka 'mimpi' petani tentang kehidupan yang layak akan semakin jauh.

Kebijakan pemerintah mengenai perberasan nasional, baik mengenai dukungan sistem produksi, diversifikasi, dan perlakuan pascapanen memang sudah cukup memadai, sebagai contoh Inpres Nomor 13/2005 mengatur hal tersebut. Namun menyangkut 'politik harga beras' pemerintah terkesan tidak mampu menjamin harga jual beras petani. Hal ini merupakan persoalan sistemik, sejarah mencatat, pada tahun 1950-an, kabinet seringkali jatuh karena ketidakberdayaannya dalam mengatasi kenaikan harga beras.

Lalu bagaimana dengan kondisi petani Banten jika faktanya seperti ini. Untuk meringankan beban petani ada baiknya Pemda Provinsi Banten tetap memperhatikan insentif dan subsidi. Insentif misalnya dalam bentuk kenaikan harga dasar gabah, penyediaan sarana produksi, pemberian kredit dengan bunga murah, pengembangan infrastruktur pedesaan, reforma agraria, mendorong terbentuknya asosiasi petani padi dan database padi. Sedangkan subsidi, terutama ditujukan untuk konsumen beras yang miskin, sehingga kebutuhan beras penduduk miskin tetap terpenuhi(Atep Afia).

Sumber Gambar :
http://www.kompas.com/data/photo/2008/04/02/2716514p.jpg
http://distanak.banten.go.id/gambar/Petani%20Soenda%201900an.jpg

Jumat, 09 Januari 2009

MENGEMBANGKAN PARIWISATA DI BANTEN

Bayangkan, dalam setiap tahunnya ada 1,3 milyar orang yang berlalulalang, berwisata ke manca negara. Berapa orang yang singgah di Indonesia? Data dari Organisasi Pariwisata Dunia mengungkapkan, hanya 4 juta orang, atau hanya sekitar 0,3 persen dari seluruh wisatawan manca negara (wisman) yang datang ke Indonesia. Sementara Malaysia dikunjungi 14,7 juta orang (1,1 persen) dan Thailand 15 juta orang (1,2 persen). Lantas, berapa orang wisman tersebut yang berkunjung ke Provinsi Banten ?

Wisman yang berkunjung ke Banten tahun 2006 ini, ternyata 150 ribu orang, dan itupun baru target dari Banten Community Tourism Board (BCTB). Lantas kenapa BCTB tidak mentargetkan kunjungan wisman 1 atau 2 juta orang, apakah Banten belum layak untuk menjadi daerah tujuan wisman yang utama. Ternyata Banten memiliki potensi wisata yang beragam dan berkelas dunia, tetapi pengelolannya masih belum profesional. Jangankan dapat bersaing dengan Malaysia, Thailand atau Singapura, dengan Bali atau Jogja pun masih jauh ketinggalan.

Potensi Terpendam

Banten memiliki beragam obyek wisata, mulai dari wisata bahari (Pantai Carita, Tanjung Lesung, Pulau Umang, Anyer), ekowisata (Ujung Kulon, Gunung dan Pulau Krakatau), wisata budaya (Baduy), wisata religi (Mesjin Agung) dan wisata belanja (Cilegon, Serpong).

Sumberdaya alam Banten memiliki daya tarik yang kuat, hal itu menyebabkan bangsa-bangsa Arab, India, Cina, Jepang, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda beberapa abad yang lalu mampir di Banten. Dengan demikian eksistensi Banten sebenarnya sudah sejak lama mendunia. Antara tahun 1525 – 1808, mulai dari masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (putra Sunan Gunungjati dari Cirebon) sampai masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai kerajaan yang banyak dikunjungi orang asing atau 'wisman'. Pada saat itu Banten menjadi wilayah yang terbuka untuk bisnis internasional, sehingga banyak kantor dagang asing dibuka. Bahkan perkampungan Arab, India, Cina dan Jepang pun sudah ada. Lantas kenapa kemampuan 'meng-global' Banten beberapa abad yang lalu jauh lebih unggul dibandingkan sekarang ?

Ditinjau dari aspek sosial budaya, sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Banten dikenal sangat terbuka. Sebagai dampak dari keterbukaannya Banten mencapai masa kejayaan, antara lain karena terjalin kerjasama yang harmonis antara pribumi dengan pendatang. Di sisi lainnya, Banten mengalami keterpurukan juga akibat keterbukaannya, terutama terhadap orang Belanda. Tahun 1808 Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Daendels meruntuhkan Keraton Surosowan di sekitar Banten Lama, mengakuisisi kerajaan dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Serang. Sejak saat itulah Banten mengalami keterpurukan di segala bidang, sampai akhirnya Banten berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai sebuah propinsi yang masih 'kanak-kanak' (6 tahun), Banten mencoba menggali nilai-nilai historis untuk dijadikan spirit kebangkitan, sehingga bisa sejajar dengan propinsi-propinsi yang paling maju.

Selain sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), potensi historis Banten ternyata masih terpendam. Padahal untuk pengembangan pariwisata, ketiganya perlu disinergikan melalui pengelolaan yang profesional.

Perlu Investasi

Partisipasi aktif pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dibidang pariwisata perlu lebih ditingkatkan lagi. Ketika sektor pertanian dan industri pertumbuhannya sudah stagnan, maka sektor pariwisata perlu mendapat perhatian serius. Kerjasama yang harmonis antara Pemda dengan pengelola industri pariwisata perlu lebih dikembangkan lagi, jangan sampai jalan sendiri-sendiri. Pemda jangan hanya sekedar mengejar pendapatan asli daerah (PAD), begitu pula pengelola industri pariwisata seperti pengelola hotel, restoran dan biro perjalanan wisata jangan hanya mengejar keuntungan sesaat.

Pariwisata seperti tanaman buah yang berumur panjang, untuk menghasilkan buah yang lebat dalam jangka waktu selama mungkin, maka perlu pemupukan, penyiraman, serta pengendalian hama dan penyakit. Begitu pula pariwisata, supaya 'berbuah lebat' selama mungkin, maka perlu investasi seperti bidang infrastruktur, pengembangan SDM dan promosi yang berkelanjutan.

Infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan, pelabuhan dan bandara perlu dipersiapkan secara serius. Kondisi jalan yang rusak seperti antara Cilegon dan Pantai Anyer, antara Pandeglang-Labuan-Panimbang-Tanjung Lesung dan Sumur akan menyurutkan minat calon wisatawan untuk mendatangi obyek wisata tersebut. Dengan demikian, target 150 ribu wisman, 1 juta wisnu (wisatawan nusantara) dan 2,5 juta wislok (wisatawan lokal) yang akan berkunjung ke berbagai obyek wisata di Banten sulit tercapai.

Pengembangan SDM pariwisata juga perlu digarap dengan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Propinsi Banten masih tinggi, maka pemberdayaan SDM lokal perlu mendapat perhatian serius. Kenyataannya hampir semua obyek wisata terkemuka di Banten, untuk posisi strategis lebih banyak mempekerjakan pendatang. Jika dibiarkan berlarut-larut maka hal ini dapat memicu kecemburuan sosial, sehingga lingkungan sosial pariwisata menjadi tidak kondusif.

Untuk pengelola industri pariwisata ada baiknya kalau berinvestasi dalam pengembangan SDM lokal, seperti memberikan beasiswa bagi masyarakat yang berprestasi untuk mengambil pendidikan tinggi pariwisata, memberikan pelatihan-pelatihan dasar mengenai kepariwisataan. Dalam hal ini Banten ada baiknya meniru Bali dan Jogja, di mana industri pariwisata setempat banyak mengikutsertakan SDM lokal, sehingga nilai-nilai budaya lokal makin mewarnai aktivitas kepariwisataan. Memang saat ini merupakan era globalisasi, namun di balik arus globalisasi ada arus tribalisasi yang menguat, yaitu adanya kecenderungan minat terhadap hal-hal yang bersifat lokal makin menguat.

Perlu Promosi

Investasi dibidang promosi juga menjadi sangat penting, sebagus apapun obyek wisata dan seprofesional apapun pengelolaannya, tanpa promosi yang jitu maka industri pariwisata tidak akan berkembang. Dalam hal ini bisa belajar dari Malaysia, yang begitu gencar mempromosikan 'kecanggihan' pariwisatanya, baik melalui kedutaan besar, televisi, surat kabar dan internet. Begitu pula Singapura dan Australia, sangat 'getol' mempromosikan pariwisatanya di Indonesia. Maka tak heran jika wisman asal Indonesia yang melancong ke Malaysia hampir mencapai 800 ribu orang per tahun (data dari 'The World Travel and Tourism Council'), beberapa ribu di antaranya adalah orang Banten.

Untuk pengembangan pariwisata tahun 2006, Pemerintah Provinsi Banten telah mengalokasikan anggaran Rp. 1,2 milyar untuk promosi. Anggaran tersebut relatif kecil jika memperhatikan target 150 ribu kunjungan Wisman, 1 juta Wisnu dan 2,5 juta Wislok, dengan target pemasukan 45 juta dollar`AS dari Wisman (dengan asumsi kunjungan rata-rata 2 hari) dan Rp 875 milyar dari Wisman dan Wislok (data dari BCTB). Untuk meningkatkan kegiatan promosi pariwisata, Pemda perlu menggandeng pengelola industri pariwisata, maka perlu ada interaksi yang positif antara Pemda Provinsi Banten, Pemkab (Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang), Pemkot (Cilegon, Tangerang), dengan Asita (Asosiasi Pariwisata), (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), dan pelaku pengelola industri pariwisata lainnya.

Negara-negara yang menjadi target promosi perlu diidentifikasi secara cermat. Beberapa negara seperti Singapura, Jepang dan Taiwan merupakan negara pengirim wisman terbesar ke Indonesia. Kalau anggaran memadai, cukup efektif jika dibuat iklan pariwisata yang ditayangkan di stasiun televisi yang ada di negara-negara tersebut. Mengacu pada nilai histori, tak ada salahnya jika mencoba mempromosikan pariwisata Banten di negara-negara Arab, Cina, India, Portugis, Spanyol dan Inggris, karena beberapa abad yang lalu Banten pernah memiliki 'hubungan spesial' dengan negara-negara tersebut, siapa tahu banyak warga negaranya yang berkeinginan menelusuri jejak nenek moyangnya.

Pengembangan pariwisata Banten memang tidak mudah, diperlukan kecerdasan, inovasi dan kreatifitas dalam pengelolaannya. Semoga upaya pengembangan pariwisata Banten jangan hanya sebatas gagasan, opini, seminar atau lokakarya belaka, dalam hal ini dibutuhkan tindakan dan langkah proaktif (Atep Afia).

Selasa, 06 Januari 2009

SELAMATKAN HUTAN DI BANTEN !


Propinsi Banten memiliki hutan tropis yang luas, namun bersamaan dengan peningkatan jumlah penduduk kualitas dan kuantitas hutan terus mengalami penurunan. Dari sekitar 250 ribu hektar hutan yang ada di Banten, 90 ribu hektar atau 36 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah. Tekanan terhadap ekosistem hutan di bagian utara Banten jauh lebih besar dibandingkan bagian selatan. Bagian utara Banten yang meliputi Kota dan kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sehingga eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, berlangsung cepat dan boros.

Tak dapat dipungkiri, keberadaan kawasan industri dan pemukiman yang terkonsentrasi di bagian utara menyebabkan degradasi kualitas lingkungan sulit dihindari. Idealnya setiap industri harus berwawasan lingkungan, bahkan perlu memenuhi standar manajemen lingkungan seperti ISO 14000. Namun kenyataan di lapangan kepentingan ekonomi selalu mengalahkan kepentingan ekologi, makin pesat pembangunan berlangsung makin banyak komponen lingkungan yang dikorbankan, termasuk hutan.

Di bagian selatan Banten, yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang, kerusakan hutan tidak separah di bagian utara. Namun eksploitasi terus berlangsung, sebagai gambaran di kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Kendeng, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, jawa Barat, areal yang tertutup vegetasi hutan tinggal 75-80 persen, dengan kata lain 20-25 persen areal hutan sudah gundul. Sementara di perbatasan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, seperti di Gunung Karang (meliputi perbatasan wilayah Kecamatan Ciomas, Keduhejo, Pandeglang dan Cadasari) 60 persen areal hutan gundul dan di Gunung Aseupan (perbatasan wilayah Kecamatan Menes, Mandalawangi, Jiput dan Padarincang) 45 persen gundul. Sedangkan di kawasan hutan Gunung Pulosari, perbatasan antara Kecamatan Mandalawangi dan Saketi, Kabupaten Pandeglang 65 persen gundul.

Eksploitasi ternyata tidak hanya terjadi di hutan pegunungan, tetapi juga di kawasan hutan lainnya, seperti hutan yang ada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Ci Danau, Ci Beureum, Ci Simeut, Ci Ujung, Ci Baliung, Ci Banten, Ci Bogor, Ci Durian, Ci Manceuri dan Cisadane. Begitu pula di hutan pantai, baik pantai barat, pantai selatan dan pantai utara, bahkan di Taman Nasional Ujung Kulon, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang juga terjadi perusakan dan penjarahan hutan.

Keruskan hutan juga terjadi di kawasan cagar alam Rawa Dano, Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Sebagai akibat tekanan penduduk, perambahan dan pengelolaan lahan ilegal di cagar alam seluas 2.500 hektar tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan, antara lain dengan melorotnya debit air dari 2.000 liter per detik menjadi hanya 200 liter per detik. Dampaknya berbagai kawasan industri di Kota Cilegon mengalami krisis air. Secara umum eksplotasi hutan menimbulkan terganggunya berbagai fungsi hutan yang sangat sulit untuk dipulihkan kembali.

Multi Fungsi Hutan

Hutan memiliki multi fungsi, mulai dari fungsi klimatologis, hidrologis, sosiologis, biologis, dan ekonomis. Fungsi klimatologis hutan erat kaitannya dengan unsur-unsur iklim seperti hujan, suhu, kelembaban, angin dan sinar matahari. Seluruh hutan yang ada di Banten berperan sebagai 'paru-paru' seluruh ekosistem Propinsi Banten. Sulit dibayangkan, jika seorang manusia mengalami kerusakan paru-paru, maka kehidupannya mengalami banyak gangguan. Begitu pula suatu ekosistem seluas Propinsi Banten, jika hutannya mengalami kerusakan, maka ekosistem itupun menjadi 'sakit'. Jika pohon di hutan terus ditebangi, maka 'sakit' yang diderita ekosistem semakin parah.

Gejala-gejala ekosistem yang 'sakit' antara lain, pemasukan dan pengeluaran (siklus) air tidak terkendali, suhu dan kelembaban meningkat, sinar matahari dan angin kurang termanfaatkan dan tidak terarah. Sinar matahari yang mengenai pohon-pohonan atau vegetasi hutan, maka energinya akan dimanfaatkan dalam proses fotosintesis, sehingga terbentuk karbohidrat untuk pertumbuhan tanaman, termasuk untuk proses terbentuknya kayu. Selain itu, dalam proses fotosintesis itupun, gas karbondioksida (CO2) yang merupakan polutan di udara diserap oleh daun pohon-pohonan, dan dari proses tersebut dikeluarkan oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan untuk pernafasan manusia. Hal inilah yang dimaksud bahwa hutan di Banten merupakan paru-parunya ekosistem Banten.

Sulit dibayangkan, bagaimana kondisi paru-paru dan kesehatan masyarakat perkotaan seperti yang ada di Cilegon, Serang dan Tangerang, yang atmosfirnya penuh dengan gas CO2, CO, SOx, NOx dan polutan lainnya sebagai buangan dari asap kendaraan bermotor, rumah tangga dan pabrik. Sedangkan di sisi lainnya, kawasan hijau di kota-kota tersebut sangat terbatas, bahkan pohon-pohonan di pinggir jalan makin banyak yang ditebangi.

Fungsi hidrologis hutan berhubungan dengan siklus air. Ekosistem hutan memiliki tajuk yang berlapis, mulai dari pohon-pohon berukuran raksasa sampai perdu dan rumput yang menutupi tanah, selain itu daun-daun yang berguguran menjadi serasah dan humus yang juga menutupi tanah. Sistem tajuk berlapis tersebut dapat mengurangi energi kinetik yang berasal dari tetesan atau jatuhan air hujan, sehingga tidak merusak tanah dan tidak menimbulkan erosi.

Pada lahan yang tidak bervegetasi seperti hutan yang gundul, maka ketika hujan datang tetesannya langsung mengenai butiran tanah sehingga dapat menimbulkan erosi. Aliran permukaan yang membawa butiran tanah tersebut akhirnya masuk ke badan sungai dan menimbulkan pendangkalan. Jika curah hujan tinggi maka badan sungai tidak dapat menampungnya, terjadilah luapan air atau banjir, baik di bagian hulu maupun bagian hilir DAS. Kawasan bervegetasi sebenarnya merupakan daerah resapan air, sehingga air yang dialirkan ke sungai sesuai dengan kapasitas sungai dan tidak menimbulkan banjir. Pada musim kemarau di kawasan ini cadangan air masih tersedia, meskipun debit air yang masuk sungai menurun. Sebaliknya pada kawasan yang tidak bervegetasi, seperti hutan gundul, ketika musim kemarau tiba tidak ada lagi cadangan air, sungaipun menjadi kering kerontang.

Kawasan hutan di sekitar Gunung Karang menjadi hulu beberapa sungai yang mengalir ke bagian barat, utara, timur dan selatan Banten, seperti Ci Lamer, Ci Ujung, Ci Asem, Ci Bogor dan Ci Banten. Setiap penebangan pohon di Gunung Karang berdampak langsung terhadap penyusutan debit air di musim kemarau untuk DAS tersebut, sebaliknya pada musim hujan berdampak langsung terhadap kejadian banjir di sekitar DAS tersebut. Posisi kota Serang dan Pandeglang dengan Gunung Karang identik dengan posisi kota Jakarta dengan kawasan Puncak. Dengan kata lain, jika penebangan pohon dan kerusakan hutan di sekitar Gunung Karang tidak terkendali, maka kota Serang dan Pandeglang siap-siap terkena banjir bandang, sebagaimana Kota Jakarta selalu menerima banjir kiriman dari Bogor, sebagai akibat penggundulan kawasan Puncak. Kondisi saat ini, areal bervegetasi di kawasan Gunung Karang hanya tersisa 40 persen.

Fungsi sosiologis hutan berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan harus meningkat kesejahteraannya, namun jika cara yang ditempuh melalui eksploitasi hutan secara habis-habisan, seperti penebangan kayu, penjarahan hasil hutan dan lahan, maka yang terjadi hanyalah pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Dalam hal ini perlu dikembangkan pengelolaan sekitar kawasan hutan yang berkelanjutan, bagaimana agar sumberdaya hutan tersebut bisa awet. Konsep agroforestry merupakan langkah yang tepat jika diterapkan dengan penuh tanggungjawab. Dalam hal ini petani di sekitar hutan diwajibkan untuk menanam pohon yang disela-selanya dibudidayakan tanaman pangan dan hortikultura.

Pengembangan konsep hulu-hilir di setiap DAS juga merupakan langkah yang baik, yaitu supaya masyarakat di sekitar hulu tidak menebang pohon, maka masyarakat pengguna air dan hasil sumberdaya alam di hilir harus memberikan kompensasi kepada pemilik lahan yang ada di hulu. Bagaimanapun sangat tidak efektif jika masyarakat di hulu dilarang menebang pohon, sementara kebutuhan ekonominya dibiarkan tidak tercukupi.

Fungsi biologis hutan kaitannya dengan hutan sebagai bank plasma nuftah atau sebagai cadangan genetik. Hutan menyimpan beragam flora dan fauna yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti plasma nuftah untuk tanaman obat, buah-buahan, sayuran, pangan, hias, industri dan energi. Di hutan tersimpan plasma nuftah tanaman energi seperti jarak, yang dapat digunakan untuk substitusi BBM melalui aplikasi biodiesel. Berbagai plasma nuftah tanaman industri seperti industri kayu, kertas, getah (karet), residu (mentol, terpentin), minyak (cengkeh, kayu putih), farmasi dan kosmetik ada di hutan. Selain itu, hutan pun menyimpan plasma nuftah hewan ternak dan peliharaan, seperti berbagai jenis burung, reptil, mamalia dan sebagainya.

Fungsi ekonomis hutan berhubungan dengan pemanfaatan hutan untuk memperoleh nilai tambah ekonomi, seperti pemanfaatan kayu. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Banten, dalam setahun jumlah pohon yang ditebang di areal hutan dan non-hutan di Banten mencapai 5-6 juta pohon. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang mencapai 750 ribu – 1 juta kubik. Reboisasi dan penghijauan yang dilakukan hanya mencapai 4 juta pohon per tahun, maka terjadi penyusutan jumlah pohon antara 1-2 juta pohon per tahun. Hal tersebut sangat tidak kondusif bagi kondisi lingkungan Propinsi Banten, bahkan bagi Planet Bumi secara keseluruhan. Setiap penyusutan vegetasi hutan tropis, termasuk yang ada di Banten, akan berpengaruh terhadap kondisi iklim di seluruh Planet Bumi, antara lain memberikan kotribusi terhadap pemanasan global.

Revitalisasi

Kondisi dan berbagai fungsi hutan yang ada di Propinsi Banten perlu direvitalisasi, begitu pula kebijakan dan strategi dalam manajemen hutan. Upaya yang harus ditempuh Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat, antara lain melalui penerapan teknik silvikultur (perbaikan kualitas tegakan), pengelolaan aspek ekologi (biodiversity), konservasi tanah dan air, pencegahan bahaya kebakaran hutan, serta penelitian dan pengembangan (Litbang) kehutanan. Dalam Litbang kehutanan di Propinsi Banten, beberapa perguruan tinggi yang ada di Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Lebak perlu diikutsertakan. Perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan kajian kehutanan yang spesifik untuk kawasan masing-masing. Selain itu, melalui program pengabdian masyarakat atau kuliah kerja nyata (KKN) berupaya melakukan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar hutan.

Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa di Propinsi Banten, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda semata, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, seperti lembaga pendidikan (dasar-menengah-tinggi), LSM, Ormas, Orsospol, pengusaha, media massa, dan sebagainya. Pada tahun 1970-an di Propinsi Jawa Barat pernah ada Gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang), alangkah baiknya jika di Propinsi Banten dilaksanakan langkah serupa.

Hal yang tidak kalah pentingnya, setelah Kota Serang berdiri menjadi kota otonom, dalam rencana induk pengembangan (RIP) cukup layak disiapkan pengembangan hutan kota. Kota Serang perlu memiliki ruang terbuka dan hijau (RTH) minimal 20 persen dari luas kota, kalau bisa dibuat Kebun Raya Serang, sebagaimana Kebun Raya Bogor. Reboisasi dan penghijauan harus dilakukan di seluruh wilayah Propinsi Banten, jika tidak maka Banten akan mengalami desertikasi atau penggurunan. Seluruh masyarakat Banten tidak ada yang mau kalau nanti harus tinggal di sebuah gurun yang bernama 'Gurun Banten'. Langkah terbaik untuk mengantisipasinya, 'Selamatkan Hutan di Banten'. (Atep Afia)

Sumber Gambar :
www.tekmira.esdm.go.id

Senin, 05 Januari 2009

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI BANTEN


Perekonomian Propinsi Banten telah mengalami pergeseran, yaitu dari dominasi pertanian menjadi industri. Namun peranan sektor pertanian masih cukup penting, meskipun kontribusinya terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) terus menyusut, dalam penyerapan tenaga kerja masih melebihi sektor industri dan sektor lainnya. Dengan kata lain sebagian besar penduduk Banten ternyata masih mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian.

Persoalannya keberadaan sektor pertanian masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan, terutama usaha tani padi. Padahal berdasarkan analisa usaha tani, budidaya padi tidak banyak memberikan keuntungan. Di satu sisi harga sarana produksi sepert pupuk dan pestisida cenderung naik, di sisi lainnya harga jual padi selalu ditentukan pemerintah melalui kebijakan harga dasar gabah (HDG). Hal tersebut menyebabkan nilai tukar petani (NTP) terus merosot, tingkat kesejahteraan petani menjadi sejajar atau di bawah garis kemiskinan. Sub sektor lainnya seperti perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan juga belum menunjukkan kontribusi yang menggembirakan, baik terhadap kondisi petani maupun terhadap perekonomian Banten secara regional.

Lantas, adakah strategi untuk memperbaiki kondisi petani tersebut ? Strategi yang diharapkan mampu menjadi 'obat mujarab' sehingga dapat 'menyembuhkan ' sektor pertanian yang sedang 'sakit kronis'.

Agribisnis

Menurut pakar ekonomi pertanian dari Amerika Serikat, David Downey dan Steven P. Erickson, agribisnis meliputi lima sektor: Pertama, sektor input (input supply sectors) meliputi pupuk, benih, pestisida, bahan bakar, mesin dan peralatan lainnya; Kedua, sektor primer (farm production sectors) merupakan sentral dari agribisnis, meliputi petani, peternak dan nelayan; Ketiga, sektor sekunder (output sectors), berperan mengubah bahan baku menjadi bahan jadi (agroindustri); Keempat, sektor tersier (market farm product), berfungsi mengantarkan produk sektor primer dan sekunder ke tangan konsumen.

Tak dapat dipungkiri, bahwa Pak Mutolib salah seorang petani padi di Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, telah menjalankan agribisnis sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan sudah turun-temurun, begitu pula para petani di daerah lainnya. Namun persoalannya, usaha tani Pak Mutolib dan kawan-kawan belum berhasil memadukan keempat sektor agribisnis tersebut, terutama untuk sektor sekunder dan tersier.
Dalam sistem agribisnis, petani merupakan sentral, namun untuk kasus agribisnis di Banten dan daerah lainnya, posisi petani masih sangat lemah. Hal itu disebabkan pemilikan modal yang kecil, penggunaan teknologi yang rendah, pemilikan lahan yang sempit, produk yang cepat rusak, ancaman iklim seperti banjir dan kekeringan, gangguan hama dan penyakit tanaman, serta akses yang sangat kecil terhadap sumberdana dan informasi.

Sebenarnya pemihakan pemerintah terhadap petani, khususnya petani padi, sudah berlangsung sejak dimulainya pemerintahan Orde Baru. Hal itu tak lain sebagai kompensasi pemerintah untuk menutupi kegagalan pasar (market failure) yang terjadi. Beragam kebijakan, strategi, program dan proyek pembangunan telah diterapkan pemerintah, dengan maksud untuk memperbaiki kondisi petani. Namun setelah perlakuan khusus terhadap petani tersebut berlangsung hampir empat puluh tahun, hasilnya hampir tidak ada. Sampai saat ini petani belum mampu menjadi pelaku ekonomi yang dapat bersaing di pasar. Mengacu pada teori agribisnis dari David Downey dan Steven P. Erickson, petani belum mampu berkiprah di sektor sekunder dan tersier. Dengan kata lain proses agribisnis yang dijalankan terbatas untuk sektor input dan primer, baru sebatas mengelola sarana produksi dan produksi, sedangkan untuk agroindustri dan pemasaran, justru dikuasai pihak lain.

Untuk beberapa kasus, intervensi pemerintah yang kurang tepat terhadap usaha tani padi, justru menyebabkan kondisi petani makin terpuruk. Menurut Gunawan Sumodiningrat (2004), untuk perbaikan kondisi petani perlu format subsidi yang tepat, yaitu langsung diarahkan ke petani, dengan maksud untuk meningkatkan kapasitas petani agar mampu menjalankan usaha secara komersial dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas petani sebagai aktor utama agribisnis melalui bantuan teknis dan pendampingan, bertujuan membantu petani dalam mengenali berbagai masalah dan potensi yang ada. Pada akhirnya petani dapat membuat prediksi usaha yang tepat sesuai dengan dinamika bisnis jangka panjang. Dengan demikian posisi Balai Pendidikan dan Pelatihan Pertanian, Balai Penelitian Pertanian serta Fakultas Pertanian dengan program-program studinya menjadi sangat penting.

Dalam pengembangan agribisnis, baik untuk sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan, petani tidak bisa dibiarkan sendiri. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pendampingan terutama oleh tenaga penyuluh pertanian. Kondisi yang terjadi di lapangan ternyata sejak tahun 2002 sampai saat ini tidak ada program penyuluh pertanian nasional. Data lainnya menunjukkan, dari 5.187 kecamatan yang ada di Indonesia, baru ada 3.557 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Di Kabupaten Tangerang dari 26 kecamatan hanya terdapat 10 BPP, di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak kondisinya hampir sama. Usia penyuluh pertanian umumnya sudah di atas 50 tahun dan banyak penyuluh yang beralih status dari jabatan fungsional ke jabatan struktural, bahkan ada yang terjun di dunia politik. Kelangkaan penyuluh pertanian perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kalau usaha tani dimodifikasi menjadi agribisnis, maka penyuluh pertanian pun perlu dimodifikasi menjadi konsultan agribisnis. Idealnya setiap desa di Propinsi Banten memiliki minimal satu orang konsultan agribisnis.

Dengan berkembangnya sistem agribisnis, diharapkan menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas, kualitas dan diversifikasi, selain itu dapat mengubah keberadaan petani individual menjadi petani komunal, yang tergabung ke dalam kelompok ekonomi yang besar dan tangguh. Dengan terjadinya modifikasi dari usaha tani menjadi agribisnis, maka kesulitan modal pun tidak terjadi lagi. Sektor perbankan yang ada di Banten sudah selayaknya mau memberikan 'pinjaman khusus' untuk agribisnis. Untuk menumbuhkan iklim yang kondusif, merupakan langkah yang tepat dan strategis jika Pemerintah Propinsi Banten segera mewujudkan berdirinya Bank Banten, yang akan menjadi kebanggaan masyarakat Banten, termasuk petani.

Keterpaduan Sub Sektor

Penanganan agribisnis di Propinsi Banten belum dijalankan secara holistik dan komprehensif, masih terkotak-kotak. Saat ini setidaknya ada tiga dinas dalam lingkup Pemda Propinsi Banten yang menangani agribisnis, yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Ada baiknya dalam pemerintahan Gubernur hasil Pilkada 2006, ketiga dinas tersebut di-merger menjadi Dinas Agribisnis, dengan seorang Kepala Dinas yang cerdas dan kreatif dalam mengembangkan agribisnis di Banten.

Dengan terbentuknya Dinas Agribisis Propinsi Banten, maka upaya pengembangan agribisnis menjadi lebih terpadu dan terarah. Untuk sub sektor tanaman pangan, komoditas padi bisa lebih dikembangkan potensinya, bahkan melalui pengembangan padi organik bisa diperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Padi organik sangat membutuhkan input pupuk organik yang pengadaannya tergantung pada pupuk kandang, maka antara sub sektor tanaman pangan dengan peternakan bisa disinergikan. Dengan adanya pengembangan ternak sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba dan unggas, maka rencana pembukaan impor komoditas yang terkait subsektor peternakan dapat dihindari, bagaimanapun berbagai kalangan menilai rencana tersebut sangat berisiko dan mengancam revitalisasi pertanian.

Melalui konsep agroforestry peningkatan produksi pangan dan hortikultura dapat disinergikan dengan upaya konservasi hutan. Keterpaduan antara subsektor tanaman pangan dengan kehutanan ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi petani di sekitar hutan, selain itu upaya pelestarian hutan pun dapat dilaksanakan secara optimal. Untuk pengembangan komoditas jagung, Banten layak meniru Gorontalo yang 'meproklamirkan' sebagai 'propinsi agribisnis'. Selain dikembangkan di lahan kering, jagung pun dapat dikembangkan melalui konsep agroforestry.

Komoditas hortikultura seperti sayuran, buah-buahan, tanaman obat dan tanaman hias, potensi pengembangannya masih sangat terbuka. Beberapa jenis buah-buahan seperti durian, manggis, sawo, jambu air Cincalo, salak, pisang, rambutan, alpukat dan sebagainya dapat dikembangkan melalui konsep agribisnis. Banten bisa menjadi sentra penghasil buah-buhan sebagai pemasok utama kebutuhan Jakarta. Faktor kedekatan transportasi Jakarta-Banten, bisa menjadi keunggulan komparatif untuk dapat memenangkan persaingan dalam meraih pasar Jakarta. Tanaman hias dapat dikembangkan dengan nilai tambah yang jauh lebih besar, Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang misalnya, meskipun dengan luas lahan yang relatif sempit tetapi dapat memasok berbagai jenis tanaman hias untuk kebutuhan beberapa kota besar di Indonesia, bahkan untuk ekspor. Tak ada salahnya jika agribisnis Banten mulai melirik anggrek. Komoditas ini sangat menggiurkan, saat ini total perdagangan dunia mencapai 150 juta dollar AS, dan pangsa pasar Indonesia hanya 6 persen. Perlu dilakukan observasi keberadaan jenis-jenis anggrek yang ada di hutan-hutan yang ada di Banten, kemudian jenis-jenis yang menarik dapat dikembangkan melalui metode kultur jaringan.

Sub sektor perikanan perlu mendapat perhatian serius.. Banten memiliki perairan yang luas, baik air permukaan (sungai, danau, kolam, tambak) maupun lautan. Kinerja fisik sektor perikanan selama semester pertama tahun 2006 sangat memprihatinkan. Hal itu disebabkan sering terjadinya bencana alam yang merusak tambak, kolam, jaring apung, kapal, tempat usaha dan rumah penduduk di kawasan pesisir. Selain itu realisasi fisik proyek tingkat pencapaiannya sangat kurang, penyebab utamanya ialah keterbatasan lelang proyek perikanan, menyusul terbatasnya pegawai yang menjadi pimpinan proyek.

Sub sektor perkebunan, khususnya di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, potensinya masih cukup besar, antara lain untuk komoditas sawit, kelapa dan karet. Keberadaan BUMN PTPN VIII diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pengembangan perkebunan di Banten, terutama perkebunan rakyat yang kondisinya masih jauh dari aplikasi konsep agribisnis. Kelemahan utamanya sama seperti sub sektor lainnya, yaitu pada agroindustri dan pemasaran.

Sebenarnya Provinsi Banten sudah memiliki beberapa komoditas khas, seperti emping melinjo, gula aren dan sate bandeng, namun promosi yang tidak gencar menyebabkan produk agribisnis tersebut kurang dikenali. Bahkan warga Jakarta saja sangat sedikit yang mengenali sate bandeng, berbeda dengan makanan khas asal Bandung yang cepat populer di Jakarta. Padahal Bandung lebih jauh dari Jakarta daripada Serang. Strategi promosi menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan agribisnis, baik untuk pemasaran produk atau mendatangkan investor.

Pengembangan agribisnis di Banten bertujuan untuk meningkatkan kesejateraan petani. Selain itu, dalam kancah perdagangan global, beragam komoditas agribisnis Banten diharapkan dapat memenangkan persaingan. Seluruh rantai agribisnis, mulai dari pra produksi, produksi, panen, pasca panen (agroindustri) sampai pemasaran harus berlangsung dengan efisiensi yang tinggi. Efisiensi itulah yang menjadi kunci keberhasilan dalam persaingan bebas. (Atep Afia)

Sumber gambar :
http://investment.banten.go.id

Minggu, 04 Januari 2009

BANTEN KURING


Banten adalah sebuah nama yang legendaris, sudah muncul sejak ratusan tahun yang lalu dalam khasanah sejarah dunia. Banten pernah berjaya dan melegenda. Banten pernah menjadi negara yang berdaulat, mampu berinteraksi dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia.

Kini Banten berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berstatus sebagai sebuah Propinsi yang membawahi 4 kabupaten (Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang) dan 4 kota otonom (Serang, Tangerang, Tangerang Selatan dan Cilegon). Bagaimana geliat Banten saat ini ? Blog Banten kuring akan mencoba mengungkapkannya dari berbagai sudut pandang. Semoga bermanfaat. (Atep Afia)

Sumber gambar:
www.banten.go.id
04 Januari 2009